Sejarah Indonesia mencatat bahwa salah satu hal yang paling menyesakkan dada dalam sejarah adalah perang. Banyak sekali perang yang harus dihadapi Indonesia (Nusantara) pada masa lalu. Perang Diponegoro yang disebut perang tanah Jawa misalnya. Meski hanya berlangsung 5 tahun namun terjadi dengan dahsyat dimana korban mencapai 200 ribu di sekitar Yogyakarta dan Jawa Tengah. usai perang Diponegoro, jumlah penduduk Yogya diperkirakan hanya berjumlah separuh dari sebelumnya.
Perang dahsyat juga terjadi pasca kemerdekaan Indonesia. Kita ingat ada perang mempertahankan kemerdekaan dengan perang 10 November. Perang yang dahsyat dan hanya berlangsung singkat ini juga menelan puluhan korban jiwa. Bahkan perang yang dinamakan perang jihad oleh para santri ini sempat dijuluki mirip neraka oleh para serdadu Inggris yang merupakan bagian dari sekutu pada saat itu.
Perang modern yang terjadi setelahnya juga hampir sama. Kita ingat perang antara Irak dan Iran yang berlangsung selama delapan tahun. Perang yang sama-sama melibatkan negara dengan mayoritas penduduk umat muslim namun berbeda aliran ini mulanya adalah soal perbatasan kedua negara, namun kemudian berkembang menjadi pertikaian wilayah dua pihak. Kita juga tidak melupakan internasional lainnya seperti perang teluk 1 sampai 3 yang melibatkan dua dan tiga negara tapi kemudian menyeret negara-negara adidaya dalam penyerangannya.
Bagaimanapun alasan logisnya, satu perang menyebabkan banyak korban,karena selain menjadikan situasi tidak nyaman, tapi juga banyak kepentingan bisnis dan kepentingan multilateral terganggu. Pengiriman barang atau bantuan menjadi sulit karena perang dan lain sebagainya.
Dampak perang tidak saja menyangkut hal yang kuantitatif semisal jumlah korban, atau jumlah materi yang ikut rusak dan musnah karena peperangan itu. Namun kerugian psikologis dinilai lebih berat dari semuanya itu. Bagaimana kita membayangkan seorang anak yang masih balita harus kehilangan ayahnya yang tertembak pada masa perang. Atau sang balita kehilangan ibunya karena terluka saat terang terjadi. Atau mungkin keluarga kehilangan beberapa anaknya karena perang itu.
Dengan keadaan seperti itu layak jika akhirnya perang sangat dibenci oleh umat manusia, karena dampaknya lebih banyak negatif dibanding positifnya. Mudaratnya juga lebih banyak dibanding manfaatnya.
Karena itu, kita harus selalu bersyukur berada di negara dengan berbagai perbedaan namun senantiasa bisa menjaga persatuan dan kesatuan. Memang terasa berat karena sering terjadi provokasi dari berbagai pihak, namun kita beruntung punya banyak metode perekat antara lain rasa toleransi, kearifan lokal, keramahan dan agama yang moderat.
Semoga ini bisa selalu dipertahankan. Semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H