Lihat ke Halaman Asli

Perbesar Budaya Saling Percaya

Diperbarui: 23 Oktober 2020   11:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber: PLAYBOOK.AMANET.ORG

Pada tahun 1995, seorang sosiolog Amerika Serikat (AS) bernama Francis Fukuyama meluncurkan sebuah buku berjudul Trust : The Social Virtues and the Creation of Prosperity. Dalam buku itu Fukuyama mengenalkan soal konsep trust culture (budaya saling percaya) sebagai sebuah modal sosial yang bisa mengantarkan sebuah bangsa menuju kejayaan.

Budaya saling percaya ini menurut Fukuyama amat ampuh dan menggugurkan asumsi bahwa sumber daya alam, sumber daya manusia dan kondisi politik dan hukum mempengaruhi langkah-langkah menuju jejayaan sebuah bangsa. Karena dengan trust culture, komponen-komponen seperti ekonomi, hukum dan politik akan menjadi baik.

Asumsi dasar dari Fukuyama adalah modal sosial yang bertumpu pada "community base on trust culture" inilah yang akan menggerakkan operasi rasional dalam bidang ekonomi, politik, dan hukum. 

Trust society menciptakan jaringan kerja sama yang saling menguntungkan di antara entitas yang saling berinteraksi. Trust society pula yang menyebabkan panggung politik menjadi demokratis dan produktif, juga membuat masyarakat menghindari perilaku suap menyuap dalam persoalan hukum.

Fukuyama membagi trust culture ini dalam dua katagori. Pertama adalah high trust culture dimana masyarakat saling memiliki kepercayaan yang tinggi. Pada katagori ini, negara-negara  seperti Amerika Serikat, Jerman dan Jepang dikatagorikan sebagai negara-negara dengan budaya percaya yang tinggi. Pada ketiga negara in tidak saja tercermin kemakmuran masyarakat tapi juga budaya demokrasi politik dan hukum yang sangat dewasa, sehingga sinergi antar masyarakat bisa terjadi dengan baik.

Katagori kedua adalah negara-negara seperti China, India  dan Italia yang masuk dalam katagori low trust culture dimana saling percaya antar warganya relatif rendah. Eberapa lembaga memasukkan Indonesia pada katagori ini, karena feodalisme masing sangat tinggi, masih rendahnya demokrasi dan berkurangnya rasa percaya antar warganya.

Sederhananya perbedaan antara negara-negara dengan high trust culture adalah saat berbisnis, tidak akan keluar dari pakem bisnis itu sendiri seperti suap menyuap untuk mendapatkan proyek atau melanggar aturan dalam mencapai standar perdagangan /bisnis tertentu.  

Sebaliknya negara dengan low trust culture memiliki sifat yang rentan untuk banyak hal. Contohnya ketika investor masuk ke negara dengan low trust culture, maka dipastikan dia harus mengeluarkan biaya yang lebih banyak untuk bisa melakukan bisnis di negara tersebut. Fenomena ini memang terjadi di Indonesia.

Sejak tumbangnya Orde baru dan diganti oleh masa reformasi, banyak hal membaik termasuk demokrasi. Masyarakat lebih bebas dalam mengemukakan pendapat termasuk soal media. Hukum dan bisnis menjadi lebih transparan sehingga mengurangi resiko  korupsi sebesar zaman Orde Baru. Negara lain bahkan memuji Indonesia sebagai negara yang punya demokrasi yang cukup baik di Asia Tenggara. Bahkan Thailand dan Singapura ada di bawah Indonesia dalam indeks demokrasi.

Karena itu tantangan terbesar saat ini bagi bangsa ini adalah membangun saling percaya antara pemerintah dan masyarakat dan antar masyarakat untuk kemajuan bangsa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline