Lihat ke Halaman Asli

Perjumpaan di Balai Kota

Diperbarui: 24 Juni 2015   18:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1356968880923085482

Baiklah, aku tidak lagi memberi puisi karena membuatmu kepayahan mengeja. Tidak masalah untukku. Oke, aku tidak lagi berbahasa sastra juga memberimu cerita karena aku tahu, itu membuatmu sulit memaknai. Begini saja, malam ini kita bicara lewat tulisan sederhana ini. Kalau kau tidak mengerti makna satu kata, ada KBBI, tetapi kumohon jangan kau berpasrah diri.

Entahlah. Apa kau masih ingat siang yang terik, siang yang membawa perjumpaan. Kita kawan yang dulu seperjuangan dan kembali dipertemukan oleh Tuhan. Ada kuasa Tuhan atas siang yang menjadi milikmu dan milikku. Ada banyak tempat di kota ini, tetapi balai kota menjadi tempat kita menuju. Tidak ada saling sapa, karena aku tidak melihatmu, dan katamu kau ragu untuk satu salam dan jabat tangan. Maka, siang itu menjadi satu sisi, sisi milikmu.

Kemudian kau berkirim pesan. Lalu aku mencoba mengingatmu. Ya, rupanya kau memang kawan seperjuangan dulu. Kita satu almamater. Selanjutnya adalah ingatan yang kurasa telah terhapus dari memori karena satu tragedi. Kurasa, aku lupa bercerita kepadamu. Atau sudah kuceritakan? Yang kuingat, aku pernah membuka pintuku, kau dua kali datang, selanjutnya kau tidak berkirim kabar.

Mungkin hari itu, pagi yang masih malu-malu, kau berkirim pesan menanyakan kabar. Aku tidak membalas karena harus bergegas menuju sekolah. Kau bertanya hal serupa lagi. Selanjutnya banyak tanyamu yang serupa, tetapi satu tanya saja dariku tidak kau jawab jelas. Seperti itu, dan terulang seperti itu.

Oktober adalah bulan mendung. Aku bahkan tidak sempat menyetrika kerudung. Pagi hingga malam aku menjagai ibu di rumah sakit. Ia menjadi tidak berdaya, dan air mataku terlalu angkuh menetes. Aku tidak menangis. Aku mengabarimu. Kau bilang akan datang. Aku menunggu di koridor rumah sakit. Sengaja aku tidak menagih janji. Kau tidak datang hingga koridor rumah sakit menjadi lusuh. Kau tidak berkirim pesan.

November bulan yang basah. Sepertinya kau mengucap doa untukku. Entahlah. Aku mendapat bayak berkah, kuceritakan padamu, kau ikut berbahagia. Lantas kau meminta malamku, kubilang malamku untuk anak didikku. Ia tengah rapuh, aku takut ia pendek pikir lalu mengakhiri hidup. Kau malah berkata. "Konseling untuk apa sih?" Kukatakan padamu, aku bahkan tidak punya malam, bahkan malam minggu. Aku bukan lagi mahasiswa, yang punya banyak malam untuk hura-hura.

November siang yang mendung, kau meminta bertemu. Aku menunggu, sendiri. Kau berkirim pesan, ada pekerjaan di kantor. Aku telanjur memesan makanan. Siang menjadi lucu dengan meja makan yang sepi. Tetapi aku tetap mengucap syukur, banyak pesan masuk dari anak didik menyatakan kerinduan. Aku tetap terseyum untuk gerimis yang kulalui sepanjang perjalan pulang.

Desember bulan hujan. Hari lebih sering basah. Kau bertanya pertanyaan serupa. Tidakkah kau hitung? Banyak kesempatan telah kuberi tetapi tidak juga kau maknai? Baiklah, malam pergantian tahun kukatakan padamu. Aku tidak pernah marah, kau tetap kawanku. Tidak pernah ada sesal atas perjumpaan yang Tuhan berikan. Malam ini apa yang ingin kau dengar dariku? Jawaban? Oke. Antara kau dan aku yang pasti hanya mati. Hatimu pula hatiku adalah milik Tuhan. Maka mintalah pada-Nya untuk satu kesempatan lagi.

Tegal, 31 Desember 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline