Lihat ke Halaman Asli

Kartika Tjandradipura

Co-Founder Writing for Healing Community

Selamat dari Tragedi, tetapi Di-bully: di Mana Empati?

Diperbarui: 14 Januari 2025   18:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi (sumber: freepik/burdun)

Tragedi Itaewon di Korea Selatan dan jatuhnya pesawat Jeju Air  mungkin berbeda dalam skala dan konteks, tetapi keduanya memiliki satu kesamaan: korban selamat menjadi sasaran pembulian. 

Setelah selamat dari tragedi yang memakan ratusan nyawa, para korban ini justru dihakimi, dikomentari secara kejam, bahkan dijadikan bahan lelucon.

Yang lebih memilukan, kasus seperti ini tampaknya bukan hal baru. Di Korea Selatan, fenomena pembulian, terutama di dunia maya, telah menimbulkan krisis serius, hingga banyak korban yang memilih mengakhiri hidupnya. Mengapa fenomena ini begitu marak, dan apa yang sebenarnya salah?

K-netz dan Budaya Pembulian yang Dinormalisasi

1. Tekanan Sosial yang Berlebihan

Masyarakat Korea dikenal memiliki standar sosial yang sangat tinggi, dari penampilan hingga perilaku. Tekanan ini melahirkan budaya "perfectionism" yang kejam. 

Ketika seseorang dianggap tidak memenuhi standar, ia menjadi sasaran pembulian massal. Korban Itaewon, misalnya, ada yang dicemooh karena dianggap tidak "berusaha menyelamatkan orang lain," sementara mereka sendiri tengah berjuang untuk bertahan hidup.

2. Anonymity di Dunia Maya: Bebas tapi Beracun

Internet di Korea Selatan memberikan ruang untuk anonim, memungkinkan siapa saja melontarkan komentar tanpa takut dikenali. Hal ini menciptakan ekosistem beracun di mana kritik pedas, hinaan, dan bahkan ancaman kematian menjadi hal yang lazim.

3. Media Sensasional dan Efek Domino

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline