Tragedi Itaewon di Korea Selatan dan jatuhnya pesawat Jeju Air mungkin berbeda dalam skala dan konteks, tetapi keduanya memiliki satu kesamaan: korban selamat menjadi sasaran pembulian.
Setelah selamat dari tragedi yang memakan ratusan nyawa, para korban ini justru dihakimi, dikomentari secara kejam, bahkan dijadikan bahan lelucon.
Yang lebih memilukan, kasus seperti ini tampaknya bukan hal baru. Di Korea Selatan, fenomena pembulian, terutama di dunia maya, telah menimbulkan krisis serius, hingga banyak korban yang memilih mengakhiri hidupnya. Mengapa fenomena ini begitu marak, dan apa yang sebenarnya salah?
K-netz dan Budaya Pembulian yang Dinormalisasi
1. Tekanan Sosial yang Berlebihan
Masyarakat Korea dikenal memiliki standar sosial yang sangat tinggi, dari penampilan hingga perilaku. Tekanan ini melahirkan budaya "perfectionism" yang kejam.
Ketika seseorang dianggap tidak memenuhi standar, ia menjadi sasaran pembulian massal. Korban Itaewon, misalnya, ada yang dicemooh karena dianggap tidak "berusaha menyelamatkan orang lain," sementara mereka sendiri tengah berjuang untuk bertahan hidup.
2. Anonymity di Dunia Maya: Bebas tapi Beracun
Internet di Korea Selatan memberikan ruang untuk anonim, memungkinkan siapa saja melontarkan komentar tanpa takut dikenali. Hal ini menciptakan ekosistem beracun di mana kritik pedas, hinaan, dan bahkan ancaman kematian menjadi hal yang lazim.
3. Media Sensasional dan Efek Domino