Lihat ke Halaman Asli

Kartika Tjandradipura

Co-Founder Writing for Healing Community

Menimbang Dosa dalam Pernikahan

Diperbarui: 13 Desember 2024   07:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi (sumber: cfar2018.com) 

Pernikahan, katanya, adalah perjalanan suci dua insan menuju kebahagiaan. Namun, bagaimana jika perjalanan itu justru berubah menjadi labirin penuh konflik? Mari kita telaah studi kasus sepasang suami istri yang terjebak dalam lingkaran setan kesalahan. Si istri merasa suaminya lebih fatal dalam melukai hati, sementara sang suami bersikeras bahwa istrinyalah biang kerok keretakan rumah tangga mereka. Siapa yang benar, siapa yang salah? Atau mungkin, keduanya hanya korban dari ekspektasi dan kegagalan manusiawi?

Dalam Rumah yang Tak Lagi Menjadi Surga
Pernikahan mereka dimulai seperti dongeng. Ada cinta, tawa, dan janji manis yang berbisik, "Selamanya." Tapi rumah yang dulu menjadi surga kini hanya sekadar tempat berteduh. 

Tak ada lagi senyum tulus, hanya percakapan dingin seperti berita cuaca. "Besok jemput anak ya." "Nasi habis. Beli sendiri." Rumah tangga mereka dijalankan "seadanya saja," seperti karyawan yang hanya menunggu jam pulang.

Ketika Cinta Berubah Menjadi Statistik

Kapan semua ini dimulai? Tentu tak ada tanggal pasti. Mungkin ketika si suami terlambat pulang untuk ke sekian kali karena "lembur," padahal pesan singkat dari rekan kerja wanita menjadi bukti tak terbantahkan. Atau mungkin ketika si istri terlalu sibuk mengurus media sosialnya, berbagi kebahagiaan semu dengan followers-nya, dan check out barang-barang di marketplace, sementara suaminya hanya mendapat keluhan tanpa henti.

Seperti statistik yang menunjukkan bahwa 58% perceraian di Indonesia terjadi karena perselingkuhan dan ketidakpercayaan, hubungan mereka perlahan berubah menjadi angka, angka yang terus memisahkan jarak emosional mereka.

Dua Orang yang Sama-sama Bersalah

Dia salah karena lupa menepati janji. Pasangannya salah karena mengungkit-ungkit setiap kesalahan. Dia salah karena terlalu sibuk bekerja. Pasangannya salah karena terlalu sibuk menuntut perhatian. Jika dosa itu dapat ditimbang, masing-masing yakin pasangannya membawa beban lebih besar. 

Tapi tidakkah mereka sadar, beban itu saling bertumpuk, seperti dua ember bocor yang saling menyalahkan siapa yang membuat genangan air lebih besar?

Dalam kata-kata Khalil Gibran: 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline