Di zaman di mana realitas dapat dikonstruksi ulang dengan teknologi, kita dihadapkan pada tantangan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.
Deepfake menjadi ancaman nyata dalam dunia informasi, di mana penyebaran berita palsu telah menjadi epidemi global. Video atau audio yang terlihat autentik tetapi sepenuhnya palsu bisa digunakan untuk menghancurkan reputasi seseorang, memanipulasi opini publik, atau bahkan menciptakan konflik internasional.
Dalam konteks politik, deepfake dapat menjadi senjata berbahaya. Bayangkan seorang pemimpin dunia yang terlihat memberikan pernyataan provokatif dalam video, padahal ia tidak pernah mengucapkannya. Dunia dapat terjerumus ke dalam krisis hanya karena rekayasa teknologi.
Di tingkat sosial, dampaknya juga tidak kalah mengkhawatirkan. Bayangkan seorang individu biasa yang kehidupannya hancur karena video palsu yang viral, memperlihatkannya melakukan tindakan yang tidak pernah ia lakukan.
Teknologi ini tidak hanya merusak kepercayaan terhadap individu tetapi juga menghancurkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi, media, dan bahkan realitas itu sendiri.
Di era di mana "bukti visual" adalah fondasi dari kepercayaan kita, keberadaan deepfake mencabut akar dari kepercayaan tersebut.
Namun, ancaman dari hal ini tidak hanya bersifat eksternal. Teknologi ini juga menyentuh inti kemanusiaan kita, kemampuan kita untuk membedakan kebenaran dari kebohongan, dan untuk mempercayai satu sama lain. Ketika kita hidup dalam dunia di mana setiap hal bisa dipalsukan, kita mulai meragukan segala sesuatu, bahkan hal-hal yang nyata.
Deepfake bukan hanya menciptakan kebohongan, tetapi juga memupuk keraguan. Dalam keraguan itu, kita kehilangan hubungan otentik yang menjadi dasar dari kehidupan manusia.
Apa yang membuatnya begitu berbahaya adalah keindahan tipuan yang ia ciptakan. Teknologi ini menipu bukan hanya mata, tetapi juga hati kita. Ketika kita melihat sesuatu yang tampak begitu nyata, kita cenderung mempercayainya.
Dalam proses ini, deepfake tidak hanya menipu kita secara teknis tetapi juga memanipulasi emosi kita. Ia memanfaatkan bias alami kita terhadap visual dan rasa ingin tahu, yang sering kali mengalahkan logika.