"Aku ini sudah baikan, nggak sakit-sakit amat. Jangan diperlakukan seperti barang pecah belah!" Kalimat sakti ini keluar dari mulut orang tua yang sedang pemulihan, penuh rasa percaya diri meski tubuhnya sendiri sudah jelas berkata lain.
Mereka, generasi yang tumbuh dengan prinsip "kerja itu ibadah," tiba-tiba disuruh istirahat total. Hasilnya? Rasa frustrasi yang merembet ke seluruh anggota keluarga, dari cucu sampai tetangga sebelah.
Orang tua, terutama yang terbiasa aktif, seringkali menolak menerima kenyataan bahwa tubuhnya butuh jeda. Mereka menolak digolongkan sebagai "manusia setengah pensiun."
Sebagai anak atau keluarga, situasi ini rasanya seperti memegang kaca retak: kita ingin melindungi mereka, tapi kadang mereka sendiri yang "ngelompatin pagar."
Bayangkan ini, bapak yang sudah didiagnosis harus banyak duduk malah ngotot memperbaiki genteng yang bocor. Atau ibu yang seharusnya mengurangi stres malah tetap heboh mengurus arisan dan memasak rendang untuk satu RT. "Ini soal harga diri," kata mereka.
Padahal, kalau sudah sampai kamar rumah sakit, baru terdengar keluhan lirih, "Iya, capek juga sih."
Tapi ya begitulah orang tua. Bagi mereka, ketergantungan adalah momok. Meminta bantuan anak terasa seperti menggadaikan martabat.
Kita, anak-anak mereka, hanya bisa memendam emosi sambil mengingat pepatah, "Kasih ibu (orang tua) sepanjang masa." Sayangnya, pepatah itu lupa menyebutkan bahwa kasih anak harus sepanjang kesabaran.
Di sisi lain, keluarga yang mengurus orang tua dalam masa pemulihan sering kali terjebak dalam dilema emosional. Kita ingin memberikan yang terbaik untuk mereka, tapi manusiawi juga kalau kita merasa lelah.
Kadang, ada momen di mana kita ingin bilang, "Pa, tolong istirahat. Jangan bikin aku ikut stres." Namun, kata-kata itu terhenti di ujung lidah karena rasa bersalah.