Dalam beberapa tahun terakhir, tren gaya hidup sehat dan ramah lingkungan semakin populer di Indonesia. Tidak hanya terbatas pada praktik bersepeda atau membawa tumbler sendiri, tetapi juga merambah ke dapur. Salah satu fenomena yang cukup menonjol adalah kebangkitan vegan burger---burger tanpa daging yang dibuat dari bahan nabati namun dirancang menyerupai rasa dan tekstur daging asli. Sekilas, ini terdengar seperti solusi sempurna untuk menjaga kesehatan, kelestarian lingkungan, dan, tentu saja, mendukung hak-hak hewan. Tapi, apakah vegan burger benar-benar menjawab semua janji muluk ini? Atau justru hanya sebatas tren penuh ironi yang mengundang senyum masam?
Ironi di Balik 'Burger' yang Bukan Burger
Sebelum kita lebih jauh membahas, mari kita telusuri apa sebenarnya definisi "burger". Secara tradisional, burger adalah paduan antara daging yang dimasak di antara dua roti. Jadi, saat kita berbicara tentang vegan burger, kita sedang membahas sesuatu yang secara teknis sudah berseberangan dengan esensi aslinya. Bagaikan menonton opera tanpa musik atau mendengar lagu pop tanpa lirik. Pertanyaannya: mengapa kita bersikeras memanggilnya 'burger'?
Di Indonesia, tren vegan burger ini tak hanya terbatas pada restoran mewah atau kafe hipster di Jakarta dan Bali. Pasar swalayan besar mulai menyediakan alternatif nabati yang cukup mahal dan diposisikan sebagai "pilihan sehat". Ironinya, dengan harga berkali lipat dari burger biasa, vegan burger justru sering kali menjadi simbol status, bukan lagi sekadar pilihan etis. Seperti kata pepatah modern, "Vegan is the new black."
Masalah Harga dan Realitas Ekonomi
Meskipun menawarkan narasi 'menyelamatkan bumi', harga vegan burger yang selangit membuatnya menjadi konsumsi kalangan menengah ke atas. Bagaimana mungkin makanan yang seharusnya ramah lingkungan dan berkelanjutan justru tidak ramah di kantong kebanyakan masyarakat? Di sinilah paradoks itu terletak: sebuah solusi yang diharapkan inklusif malah berakhir eksklusif.
Bayangkan seorang karyawan kantoran yang ingin beralih ke pola makan vegan demi menjaga kesehatan dan ikut serta mengurangi jejak karbon. Ketika ia tiba di kafe dan melihat harga burger nabati yang tiga kali lipat dari burger ayam goreng biasa, keinginan itu seketika menguap. Realitas ekonomi Indonesia yang tidak sepenuhnya stabil membuat tren ini sulit diakses oleh semua orang.
Rasa yang Mirip, atau Cuma Tipuan?
Salah satu klaim utama vegan burger adalah kemampuannya untuk meniru rasa dan tekstur daging asli. Namun, banyak pencicip pertama mengaku terpukau sekaligus bingung. "Ini enak, tapi... rasanya seperti mencoba terlalu keras untuk menjadi daging," kata seorang teman saya, yang setelah dua gigitan langsung kembali ke rendang ibu kos. Vegan burger sering kali dipenuhi zat aditif dan bahan kimia untuk menciptakan rasa dan sensasi kunyahan yang serupa daging. Ironisnya, apa yang seharusnya sehat justru bisa berakhir penuh dengan bahan yang sulit dieja dan dipahami.
Lingkungan yang Selamat?