"Menonton film pendek indie ini layaknya menikmati puisi . Ada metafora dan mengangkat isu yang seringkali dianggap tabu di masyarakat"
Kegalauan besar dirasakan oleh Dara, seorang pelajar SMP yang tengah memasuki masa puber. Seperti umumnya anak perempuan di negeri ini, meski pelajaran biologi ataupun pendidikan agama membahas mengenai reproduksi, tetap saja Dara tidak memiliki pemahakan mengenai Kesehatan reproduksi yang holistik.
Terlebih, Dara tinggal bersama neneknya beserta pamannya yang masih lajang berprofesi sebagai tukang reparasi payung. Tinggal di kawasan ekonomi kelas bawah.
Semakin kecil tempat Dara bertanya mengenai proses perubahan tubuhnya di masa puber yang begitu cepat.
Dara yang terlihat bertubuh padat memang seperti dipaksa "memaklumi" jika mendapat selorohan tak senonoh terkait pertumbuhan buah dadanya dari teman laki-laki sekelasnya, yang tentu saja sama rendahnya pemahaman mengenai perkembangan masa pubertas.
Bahkan saat adegan guru laki-lakinya yang mengajarkan tentang masa puber malah melempar senyum yang... ah sudahlah. Beberapa dari kita dapat dipasti punya pengalaman yang demikian. Senyumnya saja sudah melecehkan.
Lebay? ya memang begitu sulitnya memberi pemahaman tentang alat reproduksi di masa puber. Terlalu serius buat anak-anak tidak paham, cengar-cengir sambil melemparkan jokes kotor ya tidak bagus juga, bahkan jika tidak berhati-hati justru melecehkan. Alih-alih membangun penyadaran malah memunculkan trauma mendalam, yang seringkali justru sifatnya laten. Banyak metafora juga tentu membuat bingung, terlalu vulgar dianggap tidak beradab.
Saat Dara mulai resah dengan pertumbuhan payu daranya ia semakin bingung.
Nenek tidak lagi memakai BH. BH yang ada di rumah Dara milik Pamannya, yang tentu saja Dara tidak diketahui Dara, baik keberadaannya maupun fungsinya.
Dara justru mendapat info tentang "pendidikan seks" justru dari penjual majalah porno di pasar dan penjual pakaian dalam serta teman sebayanya. Tentu saja penjelasannya sangat dangkal, yang semakin membingunkan Dara.