Solo dengan kasunanan Surakartanya berada di Jawa Tengah. Sejarah panjang gerakan antiswapraja di Slo membedakan nasibnya dengan Yogyakarta. Meski sama-sama penerus dari Kesultanan Mataram Islam yang terpecah karena perjanjian Giyanti pada tahun 1755.
Keraton Solo tidak menjadi pusat pemerintahan, tetapi sebuah cagar budaya dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 23/1988 tentang Status dan Pengelolaan Keraton Kasunanan Surakarta .
Pemerintahan ya berada di pemerintah kota Solo.
Pemimpin Dari Keraton Vs Rakyat Jelata
Di era demokrasi ini menjadi pertanyaan masihkah eksistensi kepemimpinan dari dinasti yang bersifat feodal memiliki pengaruh?. Persoalannya sejak awal kemerdekaan saja, keberadaan pemerintahan swapraja di Surakarta telah ditolak. Apalagi di masa kepemimpinan Bakubuwono
Salama belasan tahun, keraton ini konflik kepemimpinan untuk pengangkatan Dualisme kepemimpinan "Raja Kembar " PB XIII. Meski di tahun 2017 telah dilakukan perdamaian para pihak yang berkonflik dengan melibatkan pemerintah daerah dan pusat.
He he..keributan keluarga raja harus tunduk pada keputusan pemerintahan dari rakyat jelata.
Perdamaian 2 raja tidak menyurutkan Kisruh antara Paku Buwono (PB) XIII Hangabehi dengan sentana dalem atau adik-adiknya yang tergabung dalam Dewan Adat . Di tahun 2019 masih saja situasi memanas dengan aksi gugat menggugat di Pengadilan Negeri hingga usir mengusir antara Sang Raja dan Putrinya, GKR Timoer.
PB XII memang memiliki 36 putra dan putri dari beberapa istri. Keluarga besar ini tentu menginginkan semua kepentingan terakomodir bukan?.
Keinginan Keraton Masuk Pemerintah Daerah
Bulan Desembet 2020 ini, Solo menjadi daerah yang akan menjalankan pilkada langsung. 270 Daerah akan melakukan pilkada serentak. Seharusnya hal yang biasa-biasa saja. Tetapi pilkada Kota Solo ini menarik perhatian ketika Putra Sulung Presiden Joko Widodo memutuskan untuk maju dengan dukungan partai utama PDIP. Menjadi semakin santer ketika semua partai yang menguasi kursi DPRD Solo mendukung Bapak Jan Ethes ini,kecuali PKS.