Himbauan untuk tidak mudik sudah lama digaungkan di negeri ini. Tujuannya untuk mengurangi risiko penyebaran covid 19 semakin massif. Kita semuatahu bahwa virus ini tersebar karena pergerakan manusia dari satu tempat ke tempat lain yang begitu cepat dengan penderita di seluruh dunia sehingga WHO menetapkannya sebagai pandemi.
Virus ini berada di Indonesia karena diimpor tanpa melalui kepabeanan. Dibawa oleh mereka yang bepergian dari luar negeri, baik untuk urusan bisnis, kunjungan kerja, wisata termasuk wisata religi. Meski kasus pertama yang diumumkan tertular dari wisatawan yang datang ke sini. Virus ini telah ada dan tak akan pergi dari negeri ini.
Ia akan semakin memperbanyak koloninya dengan sangat cepat. Manusia dengan klaim kemajuan teknologi kedokteran dan farmasinya terhenyak dengan kehadiran mutasi renik ini. Meski virus ini telah ditemukenali, tetapi belum diketahui bagaimana cara melemahkannya, membunuhnya dengan obat-obatan atau membuat vaksinnya. Tak ada jalan lain, selain semua orang di dunia ini bersatu padu untuk melawan corona ini dengan menjalankan protokol pencegahan penularan covid 19.
Selain menjaga kebersihan tubuh termasuk rajin cuci tangan, menjaga pola hidup sehat dengan makan sehat bergizi dan olah raga menjaga daya tahan tubuh, berjemur untuk mendapatkan vitamin D gratisan yang selama ini dicuekin aja. Dihimbau pula untuk menggunakan masker. Dilakukan pula physical distancing (sebelumnya disebut social distancing).
Karena penularan virus ini sangat cepat dari satu tubuh ke tubuh lain. Masyarakat diminta Stay at Home, Karantina mandiri. Dengan harapan mengurangi pencegahan selama masa inkubasi virus ini. Tetapi dunia gak kompak, menyebabkan masa karantina malah molor sampai 3 bulan. Work from home, sekolah pun dari rumah. Negara-negara yang telah melonggarkan kebijakan ini pun kembali terancam dengan penularan covid 19 ini di gelombang lanjutan.
Mudik Hari Raya
Mudik adalah sebuah tradisi untuk mengunjungi orang tua dan keluarga di tempat asal. Tradisi ini bukan hanya dimonopoli oleh Muslim Indonesia saja kok. Seluruh dunia pun mengenal tradisi ini. Himbauan ini terus diserukan oleh pemerintah. Banyak pihak sempat kecewa himbauan mudik ada tetapi tranposrtasi udara tetap dijalankan. Meski demikian, orang-orang yang sadar bahwa ini untuk kepentingan orang banyak pun bersedia untuk tidak mudik.
Beberapa kolega saya yang beretnis Tionghoa tidak mudik saat cengbeng bulan april lalu. Meski cengbeng memang acara ziarah, tetapi bertemu dengan keluarga juga tujuan utamanya, melepas rasa rindu telah lama tak jumpa karena hidup di perantauan. Demikian pula teman-teman saya yang merayakan nyepi. Mereka memilih tidak mudik, menjalankannya di rumah masing-masing. Tampaknya, menjalankan nyepi di tengah keramaian tentu sangat berat. Sangat berbeda suasananya jika dijalankan di tempat asal yang sama-sama menjalankan nyepi.
Ketegasan himbauan mudik terlihat saat penerbangan ditiadakan, tak berapa lama penerbangan diadakan dengan syarat-syarat tertentu. Tiba-tiba saja sliweran di media bagaimana ramainya bandara Soeta di konter pengecekan kesehatan. Ah sudahlah, jangan nyinyirin soal phyisical distancing di foto berjubelnya manusia di situ. Boleh jadi diriku yang tak pernah merantau tidak tahu beratnya rindu kepada orang tua. Diriku yakin jauh lebih berat dri rindunya Dilan kepada Milea. Rindu kepada orangtua tak akan perputus dan terpupus seperti kandasnya hubungan Dilan dan Milea.
Lah diriku saja jika 12 jam tidak melihat muka ibu saja sudah kelabakan. Tak terbayang menahan rasa rindu kepada orang tua dan saudara yang hanya dijumpai saat hari raya. Belum lagi hari raya adalah momen perjumpaan dengan teman-teman dan kolega.