Lihat ke Halaman Asli

Kartika Kariono

Ibu Rumah Tangga

Waisak di Bulan Ramadan, Purnama di Langit yang Sama

Diperbarui: 7 Mei 2020   15:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Colombo Red Mosque, Srilanka Negara Mayoritas Buddhis (Dok: FB Sulis Bae)

Secara garis besar dunia mengenai 3 metode penanggalan, matahari, bulan dan perpaduan kalender bulan dan matahari.  Pada daasrnya penanggalan ini memiliki tujuan untuk menjadwalkan siklus kerja dan siklus ibadah. Pada tanggal dan bulan tertentu dilaksanakan kagiatan keagamaan, ya jika ada yang membedakan agama dengan  kepercayaan, kepercayaan tertentu juga memperhitungkannya berdasarkan kalender. 

Waisak di Tengah Ramadan

Dalam kehidupan pertanian dan pelayaran, kalender juga menjadi tolok ukur dalam memulai pekerjaan, melakukan perawatan, atau pun beristirahat.  Kalender ini menjadi jadwal kerja bersama yang juga ditentukan oleh kondisi musim pada masing-masing iklim. Demikian pula purnama, sebagian penduduk dunia menjadikannya acuan penanggalan. Baik sebagai bulan tengah ataupun bulan baru. Beberapa mitos pun dihubungkan dengan purnama, juga tak sedikit kegiatan upacara ritual ataupun kegiatan ibadah dilaksanakan pada bulan purnama.  Dalam kalender hijriyah  yang berdasarkan qomariyah memang tidak ada anjuran ibadah tertentu yang dikhusukan dilakukan di bulan purnama. Hanya ada anjuran berpuasa di tanggal 13,14,15 serta ibadah nisfu sya’ban di tengah bulan sya’ban untuk menyambut bulan ramadan. Saya tidak dapat menjelaskan perdebatan antara yang menjalankan ibadah nisfu syaban ataupun yang tidak di sini.  Minim kapasiats saya untuk dapat menjelaskan hal itu. Tahun ini sungguh luar biasa. Purnama ramadan tahun ini istimewa, karena bertepatan dengan peringatan trisuci Waisak. Kalender visakha yang percampuran antara perhitungan matahari dan bulan tentu hal yang tidak mengherankan terjadi. Waisak dapat jatuh di bulan mei atau awal juni.

Waisak da Ramadan Tahun ini di Rumah Saja Dulu

Berbeda dengan tahun lalu, meski sama-sama Waisak di tengah ramadan. Sehingga detik-detik peringatan waisak yang biasanya dipusatkan di Bodobudur dapat berbarengan dengan kegiatan pasca berbuka hingga tarawih.  Malam ini, umat Budha merayakan trisuci waisak 2564 BE/2020 M sama dengan umat Muslim, di rumah saja. Tidak ada sembahyang di vihara. Umat Budha yang merayakan waisak tidak menyelengaraka  anjangsanga (kemungkinan besar juga akan dirasakan umat Muslim di Idul Fitri, jika badai covid ini tidak segera berlalu). Umat Budha juga sama dengan agama lain yang merayakan hari rayanya dengan saling berkunjung, untuk bersilaturahim.   dalam bahasa PAlembangnya sanjo-sanjo (istilah sanjo di Palembang ini berlaku untuk kegiatan anjangsana agama apapun, Lebaran bagi Muslim, Lebaran Cino (Xin Cia) bagi Masyarakat etnis Tionghoa, Lebaran Natal bagi Kristen, termasuk sanjo Waisak).

Pemahaman saya sangat sedikit sekali mengenal agama Budha. Meski Palembang katanya ibukota Srivvijaya yang sempat memiliki perguruan tinggi Budha terbesar, peninggalan mengenai hal itu (meski hanya sekadar ceritera) tidak pernah diajarkan di sekolah, buku sejarah ataupun muatan lokal. Jumlah penganut agama Budha sangat sedikit di Palembang, bahkan dulu teman-teman yang kong hu chu dan taoisme juga dulu mengaku Budha, yang membuat saya sering salah paham.  Dari segi ajaran berdasarkan aliran, tampaknya  Budha tak berbeda dengan Muslim, Agama Budha juga banyak alirannya juga. Jujur saya sangat buta dengan pemahaman mengenai ajaran Budha. Meski tak adil sebenarnya memahami ajaran sebuah agama dari penganutnya. Karena penganut bisa saja tidak menjalankan ajarannya secara benar dan dapat membiaskan pandangan mengenai sebuah ajaran.  Tetapi saya cukup beruntung  saya sering mendapat pencerahan mengenai Budha dari penganut Budha melalui perilaku mereka sehari-hari.

Sebuah harmoni itu dari perbedaan, bukan dari sesuatu hal yang sama. Menghargai  keberadaan satu sama lain akan, bukan menyatukan dan saling meniadakan satu sama lain. Perbedaan itu sunatullah, suatu bukti kuasa Illahi itu ada.

Saya memang tak pantas membandingkan agama, kepercayaan, aliran atau sekte yang diimani oleh orang tertentu apalagi  dengan pengetahuan yang sangat minim. Tetapi sependek pemahaman saya, saya meyakini segala ajaran agama, kepercayaan, aliran apapun pada instilahnya  mengajarkan umatnya  pada rasa syukur, ikhlas  dalam beribadah membangun hubungannya dengan Tuhannya, yang dilandasi dengan  kepedulian terhadap sesama dalam hubungannya antar manusia serta  menjaga   keseimbangan dan keberlangsungan alam dalam hubungannya dengan alam semesta.

Pesan trisuci waisak juga tak terlalu berbeda dengan makna puasa di bulan ramadan yang tengah dijalani oleh umat Muslim. Mendapatkan pencerahan untuk menjadikan pribadi yang lebih baik. Saya pikir ini  pesan ini berlaku sama  untuk  saudara-saudara kita  Umat Kristen Katholik, Kristen Protestan, Hindu, Konghucu,  Sapta Darma, Marapu, Kejawen, Sunda Wiwitan, Yahudi, Shinto, apapun agama yang pernah tercatat atau tidak secara administrasi di dunia ini dalam menjalankan ibadah. Bahkan saudara-saudara yang mengaku tak percaya keberadaan Tuhan juga pada dasarnya tetap mengedapankan moral baik dan nilai kemanusiaan dan keberlangsungan alam semesta, bukan?.

Mengajarkan Kesederhanaan dan Berbagi Dengan Sesama

Pangeran Sidharta meninggalkan istananya untuk mendapat pencerarahan hidup, bertapa di bawah pohon Bodhi lalu mengajarkan ajaran budi baiknya. Pangeran Sidharta menjalankan hidupnya dengan kesederhanaan. Sama seperti yang dijalankan oleh  Rasulullah Muhammad SAW. Hidup dengan kesederhanaan,  tetapi mendahulukan kepentingan orang lain, kemaslahatan umat dan kebaikan alam semesta.  Perilaku hidup mereka inilah yang dijadikan teladan bagi umat mereka masing-masing.  

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline