Lihat ke Halaman Asli

Kartika Kariono

Ibu Rumah Tangga

[Resensi ]Marlina, "The Power of Mama Humba"

Diperbarui: 17 November 2017   07:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hati-hati tulisan mengandung spoiler. Jika kuatir mengganggu kenikmatan menikmati film ini sebaiknya skip, akan banyak spoiler dalam review saya,dan memilih kata Humba, saya menghindari salah paham atau salah ketik  dengan Sumbawa.


Film ini termasuk film yang cukup lama saya nantikan,  sempat membaca artikel yang mengulasnya di akhir tahun lalu. Kemudian menghiasi beberapa media online mengenai pemutaran film ini di beberapa festival, tapi baru hari ini baru ditayangkan. Sayangnya, film ini jelas bukan genre favorit suami atau anak saya, bahkan teman-teman yang biasa saya ajak nonton bareng.  Jadi dengan terpaksa saya menonton sendirian, yang memang bukan kali pertama buat saya menonton film Indonesia sendirian, dengan penonton yang sepi, lumayan jadi saya serasa punya bioskop. 

Kekhawatiran akan turun layar lebih cepat,  menjadi salah satu pertimbangan saya untuk menonton ini di hari pertama. Apalagi film produksi Hollywood yang sebenarnya juga sudah saya tonton kemarin malam sedang berkibar dan antusias penonton yang tinggi. Ah.. buat apa memperbandingkan tingkat antusiasnya, dalam dua hari saya merasakan aura yang berbeda dengan melihat keterisian bangku penonton. Bayangkan  saja, 1 Row C , saya menjadi penguasanya  sendirian.   Sempat ada rasa keraguan saat duduk sendirian sepanjang 1 row, apakah saya akan menikmatinya,  karena membaca resensi singkat ini film thriller, tapi sebagai penggemar slasher ,tidak akan menjadi masalah kalau cuma adegan muncrat darah sedikit, saya sudah siapkan mental sejak awal.

Diawali dengan maklumat bahwa cerita ini adalah fiktif belaka, tetapi keindahan Sumba adalah nyata. Sebenarnya di benak saya terlintas ini maklumat "cuci tangan" jika ada kritik tersembunyi. Meski ekspektasi saya sangat tinggi, tetapi saya menurunkan antusias saya,  salah satu cara menghindari kekecewaan. 

Jadi, di benak saya,setidaknya lihat panorama savana di perbukitan Sumba serta laut lepas yang (sampai saat ini masih) diimpikan. More than enough.Film ini dibagi 4 babak, yang aku kurang paham soal pembagian 4 babak itu  yang menurutku justru membuat alurnya kurang smooth

Dimulai dengan kedatangan Markus ke rumah Marlina,janda cantik yang menanggung beban hidup, belum lama ia kehilangan putranya yang lahir prematur, suaminya pun meninggal, artinya rumah dan hewan ternaknya yang tidak seberapa itu menjadi kewajiban dia untuk mengurusnya.

Meski Markus menyampaikan maksud jahatnya ia masih ingin diperlakukan sebagai tamu, diagungkan selayaknya kebiasaan masyarakat Sumba. Ia meminta sirih dan pinang tanda penerimaan Marlina juga minta dimasakkan makan malam,dan kurang ajarnya minta pula ditemani tidur.

Penghinaan Markus itu terhadap janda agar jangan jual mahal pun dimulai dari celotehnya. Marlina, perempuan Sumba yang perkasa memiliki harga diri, tidak bersedia diperlakukan demikian. Dengan cerdik, ia memasukkan racun ke makanan para tamunya,dan matilah seketika 4 anak buah Markus (kurang dramatis sih, sebagai korban keracunan terlalu mudah, di benak saya korban keracunan setidaknya memuntahkan darah hebat), mungkin maksudnya ingin menampilkan silent killer terlihat dengan sunggingan senyum Marlina, ah..kurang "dapet" .  Markus kepala perampok itu memperkosa si Marlina, di kamar tidur Marlina,  pemerkosaan ini menjadi kesempatan bagi Marlina memenggal kepala Markus. Meski ada 2 perampok lain yang tidak sempat terbunuh karena membawa ternak Marlina.

Di luar dugaan saya, ternyata skenario film ini dibuat dalam satire, lelucon yang baik dalam balutan keseriusan menyampaikan kritik. Adegan lucu dimulai bagaimana Novi, teman Marlina yangtelah hamil  10 bulan hendak menyusul Umbu (setahuku semua laki-laki Sumba Timur dipanggil Umbu dan perempuan dipanggil Rambu) suaminya ke Kodi, meski seorang teman aku pernah memberitahu bahwa  Kodi terletak di SBD (Sumba Barat Daya), yang panggilannya bukan umbu lagi. Ya sudahlah, mungkin maksudnya Umbu (suami Novi) itu orang Sumba Timur yang kerja di Kodi, tetapi mengapa Novi tidak dipanggil Rambu ya. Dijawab nanti saja lah, atau mungkin ada kompasianer yang lebih paham akan membantu menjelaskan di komentar.

Miris sekali ketika Novi mengeluh bagaimana betapa letihnya dia mengandung anaknya selama 10 bulan, dan ketika ia tanya ke Marlina apakah tau rasanya, Marlina dengan ketus menjawab ia hanya hamil 7 bulan, jadi ia tidak mengerti. Dalam "bahasa" kaum perempuan, hal-hal yang menyinggung peranakan lebih pedih daripada menyinggung perasaan. Pengen mewek deh lihat ekspresi rasa bersalah si Novi. Puk-puk Novi, orang ekspresif memang begitu, selalu dianggap salah. Eh..kok jadi curcol ya, dan saya makin ingin menangis ketika Novi ternyata dituduh hamil sungsang, yang artinya ia suka selingkuh. Anehnya, kemirisan ini terasa lucu bagi penonton ketika dialognya dilontarkan oleh Novi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline