Lihat ke Halaman Asli

Fenomena "Profesor Bodong": Dilema Integritas dalam Dunia Akademik Indonesia

Diperbarui: 24 November 2024   20:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Kasus "profesor bodong" yang kembali mencuat di Indonesia memunculkan perdebatan mengenai integritas gelar akademik tertinggi di dunia pendidikan. Fenomena ini bukan hanya mencoreng reputasi institusi pendidikan, tetapi juga melukai mereka yang meraih jabatan guru besar dengan usaha keras. Apakah fenomena ini cerminan lemahnya sistem atau justru indikasi bahwa penghargaan akademik semakin mengalami komodifikasi? Artikel ini akan mengupas berbagai perspektif tentang isu tersebut.

Kasus ini menyoroti masalah mendasar dalam dunia pendidikan tinggi di Indonesia, yakni lemahnya pengawasan dan pengelolaan pemberian gelar akademik. Saat guru besar yang sah harus berjuang keras dengan penelitian ilmiah yang mendalam dan karya-karya bereputasi, muncul oknum yang menyiasati jalur ini demi gelar. Fenomena ini mengurangi makna intelektual dari gelar profesor dan membahayakan kredibilitas pendidikan tinggi. Ketegasan dan konsistensi dalam pengawasan dari pihak Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi menjadi kunci untuk mengatasi masalah ini.

Seperti yang diungkapkan Prof Dr Mohammad Kosim MAg dari IAIN Madura, proses menjadi guru besar melibatkan perjuangan panjang. Salah satu syarat utamanya adalah publikasi karya ilmiah di jurnal internasional bereputasi seperti Scopus, sebuah proses yang ia gambarkan sebagai "berdarah-darah". Dalam banyak kasus, syarat ketat ini memastikan bahwa guru besar benar-benar memiliki kontribusi akademik yang signifikan.

Pandangan serupa diungkapkan oleh Prof Nur Syam dari UIN Sunan Ampel Surabaya, yang menyatakan ketidaknyamanan menyandang gelar profesor akibat munculnya kecurigaan terhadap legitimasi gelar tersebut. Ia menegaskan bahwa keberadaan "profesor bodong" mencederai moralitas dan reputasi mereka yang mendapatkan gelar melalui cara yang benar.

Fenomena ini dapat diibaratkan seperti sertifikat keahlian dalam dunia medis. Seorang dokter yang memperoleh gelar spesialis setelah bertahun-tahun pelatihan intensif pasti akan merasa dirugikan jika ada orang yang mendapatkan gelar yang sama melalui jalan pintas tanpa kemampuan memadai. Sama seperti pasien yang bergantung pada kompetensi dokter, masyarakat juga mempercayai guru besar sebagai penjaga ilmu pengetahuan. Jika kepercayaan itu dirusak, dampaknya bukan hanya pada individu, tetapi juga pada kualitas pendidikan bangsa.
 
Sikap Rektor UII, Fathul Wahid, yang memilih untuk menghapus gelar akademiknya dalam surat-menyurat institusional, adalah langkah simbolis yang menarik perhatian. Ia ingin mengurangi sakralisasi gelar dan menekankan pentingnya kontribusi nyata daripada status formal. Langkah ini dapat menjadi contoh refleksi yang lebih luas dalam menghadapi fenomena "profesor bodong".

Kesimpulannya, fenomena ini bukan hanya masalah individu tetapi sistemik. Dibutuhkan reformasi dan langkah tegas untuk mengembalikan marwah akademik, memastikan setiap gelar yang diberikan benar-benar mencerminkan kualitas dan integritas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline