Lihat ke Halaman Asli

Karresa Esa

Semakin tinggi ilmu kita, semakin tawadhu

Sawah di Tengah Kota. Idealisme Pak Tani

Diperbarui: 6 September 2015   05:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14122745291427872892

 

 

 

Sumber Gambar : http://img2.bisnis.com/jatim/posts/2014/05/12/71280/sawah-dijual-1.jpg

 

 

 

Udara di pagi hari terasa sejuk, melihat hamparan sawah  yang hijau membuat hati bergelora menyambut sang pagi. Indah di saat merasakan dan melintasi paronama alam yang seakan membuat hati ini terketuk. Hati yang senantiasa berkata jujur apa adanya, berkata benar apabila itu benar, berkata salah apabila itu salah. Hati nurani, itulah nama yang diberikan oleh orang-orang untuk hati yang berkata jujur apa adanya. Karena hati nurani para seniman menghasilkan bait-bait puisi, lirik sebuah lagu yang teramat dalam untuk direnungkan dan dirasakan. Sebuah inspirasi untuk hati nurani dimana lagi kita mencarinya jika keindahan alam kita berubah menjadi bangunan-bangunan yang megah, kos-kosan ekslusif, hotel berbintang yang menjulang tinggi. Demi menyetujui kesepakatan urusan perut, urusan strata sosial, urusan-urusan duniawi, mereka menjual sebuah paronama alam, sumber inspirasi dari hati nurani.

 

Sawah di tengah kota, sesuai dengan apa yang ada di awal paragraf. Tetap bertahan walaupun sebagian besar tanah tergerus oleh kepentingan bisnis para eksekutif-eksekutif muda maupun tua. Memandangi pak tani yang tetap semangat menabur benih walaupun di hadapannya bangunan-bangunan megah menghampirinya. Tidak memperdulikan gengsi dan tidak memperdulikan gaya hidup perkotaan. Berusaha sekuat mungkin menghadapi rayuan-rayuan manis dari para eksekutif untuk membeli dan menjadikan sebuah petak sawah yang lumayan besar menjadi bangunan berupa kos-kos mewah. Tidak seperti tetangga-tetangga nya yang lebih dulu menjual paronama alam berupa sawah demi kepentingan perut, kebutuhan primer dan sekunder lainnya. Wajar, daerah Pak Tani di daerah universitas negeri favorit, magnet pembangunan-pembangunan yang megah, sehingga harga tanah disana menjulang tinggi. Akan tetapi Pak Tani tetap setia dengan rutinitasnya sebagai petani.

 

Pak Tani tidak setuju stigma negatif berdasarkan realitas yang ada, beda halnya dengan tetangga-tetangganya yang setuju dengan stigma negatif tersebut. Stigma menjadi petani di Indonesia akan menjadi miskin, kian memudarkan keinginan kawula muda untuk menjadi petani. Bahkan, mereka yang berasal dari kalangan petani, tidak ingin anaknya sengsara-versi mereka, seperti orangtuanya. Petani kian terkaburkan. Identitas dan ritual yang menyertainya juga ikut terbawa. Pak Tani pun tetap bersahaja dalam menjalani rutinitasnya tanpa menghiraukan stigma negatif. Bukan masalah rupiah tetapi rutinitasnya sebagai petani yang menjadikan diri Pak Tani bersahaja dan selalu bersyukur dalam mengerjakan kegiatan bertani, rutinitas dengan sawahnya tidak ternilai oleh uang. Karena rutinitasnya lah sumber inspirasi untuk hati nuraninya dalam menjadi orang yang selalu bersyukur atas nikmat yang telah diberikan oleh Allah swt.

 

 

 

Dengan kesederhanaannya, penulis ingin memberikan sebuah suri tauladan kepada pembaca tentang kegigihan pak tani dalam mempertahankan sebuah idealisme yang tidak tergadaikan oleh realitas yang ada. Pengabdian bukanlah profesi, pengabdian adalah bagaimana kamu menghayati sebuah peran tanpa terlintas sedikitpun nilai-nilai materi. Semoga kisah Pak tani ini menjadi sumber inspirasi hati nurani anggota DPR dan DPRD yang terpilih agar berkata benar bila memang benar, berkata salah bila memang salah. Menghayati perannya sebagai wakil rakyat tanpa mengharapkan imbalan materi.

Couldn't load plug-in.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline