Dalam menghadapi perkembangan dunia yang tak kunjung berhenti, generasi penerus Indonesia sepatutnya menanamkan sikap krisis dalam benaknya. Namun, pembinaan sikap yang krusial tersebut masih terbatas di sekolah yang menghabiskan sepertiga dari waktu harian siswa. Berbagai usaha telah dilakukan pemerintah untuk memperbaiki sistem yang arkais ini, tetapi siswa-siswi belum sepenuhnya memiliki sikap krisis yang utuh untuk menghadapi masa depan. Perkara tersebut membuahkan sebuah pertanyaan, apakah upaya yang dilakukan pemerintah cukup untuk menumbuhkan sikap krisis siswa?
Tuturan kata sang komponis Erwin Gutawa menarik perhatian saya, khususnya ketika beliau berkata bahwa sikap krisis dan nalar yang baik dapat dibentuk dengan kurikulum musik yang berkualitas. Mendengar itu, saya teringat pada kelas musik di sekolah dimana pembelajaran yang dirancang berpusat pada hafalan ujian, bukan praktik memainkan instrumen musik. Mungkin inilah salah satu faktor yang melatarbelakangi kurangnya sikap krisis para pemuda.
Pendidikan musik di sekolah Indonesia tergolong menjadi pelajaran yang santai dan tidak penting. Padahal, studi yang dipublikasikan oleh Save The Music Foundation di New Jersey membuktikan bahwa siswa yang terlibat dalam program musik sekolah memiliki identitas yang lebih kritis dan kreatif. Ilmuwan-ilmuwan yang cemerlang pun memiliki histori dengan musik ketika masih dini, seperti Albert Einstein. Bahkan, berbagai penelitian telah mengemukakan bahwa seorang musisi memiliki otak yang lebih sensitif dengan memori kerja, auditori, dan fleksibilitas mental yang superior.
Departemen Pendidikan di Inggris pada tahun 2021 menyusun suatu kurikulum musik nasional yang menegaskan empat aspek yakni singing, listening, composing, dan performing. Setiap aspek pun terdapat prinsip-prinsip yang wajib diterapkan, seperti siswa diwajibkan menyanyi dengan frasering, napas, postur, dan dinamik yang baik pada aspek singing, siswa dikenalkan dengan berbagai genre musik pada aspek listening, siswa diajarkan berbagai gaya komposisi pada aspek composing, dan siswa diberikan pengalaman mempersembahkan musik pada aspek performing.
Dibandingkan dengan kurikulum pendidikan di Inggris, pendidikan musik di Indonesia yang berbasis hafalan masih jauh terbelakang. Jika tiap-tiap aspek dan prinsip dilaksanakan dengan benar, siswa-siswi tidak hanya mampu untuk mempersembahkan musik, tetapi juga mampu berpikir secara kreatif dan kritis. Oleh sebab itu, sudah sepantasnya kurikulum pendidikan musik di Indonesia dikedepankan dan dikembangkan untuk melahirkan pemuda-pemudi yang siap untuk menghadapi masa depan.
Daftar Pustaka
Aditia, Andika. 2019. "Erwin Gutawa Berharap Musik Masuk Kurikulum Pendidikan di Indonesia". https://entertainment.kompas.com/read/2019/04/01/215906310/erwin-gutawa-berharap-musik-masuk-kurikulum-pendidikan-di-indonesia. Diakses tanggal 2 Januari 2023.
Alban, Deane. 2022. "How Music Affects the Brain". https://bebrainfit.com/music-brain/. Diakses tanggal 3 Januari 2023.
Gibb MP, Hon Nick. 2021. "Model Music Curriculum: Key Stages 1 to 3". https://assets.publishing.service.gov.uk/government/uploads/system/uploads/attachment_data/file/974366/Model_Music_Curriculum_Full.pdf. Diakses tanggal 3 Januari 2023.
Koalisi Seni. 2019. "Menumbuhkan Nalar Kritis Lewat Musik". https://koalisiseni.or.id/menumbuhkan-nalar-kritis-lewat-musik/. Diakses tanggal 3 Januari 2023.
Peralta, Lia. 2018. "Benefits of Music to The Brain". https://www.savethemusic.org/blog/research/benefits-to-the-brain/. Diakses tanggal 3 Januari 2023.