Seni Politik, Politik Seni
Dengan seni politik menjadi indah dan seni harus memiliki naluri politik agar tidak tidak lepas dari ruh seni.
Rekayasa Allah SWT memang begitu dahsyat, luar biasa dan sungguh di luar kemampuan logika dan prediksi seorang hamba. Wajar saja kalau Allah SWT sombong karena memang Dia bisa melakukan apa saja yang Dia mau. Peristiwa pertemuan saya dengan seorang seniman bernama Joni Samudera adalah buktinya. Rencana pulang kampung saya bersama istri di daerah kelahiran kami yaitu Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, bukanlah ingin bertemu dengan seni pelukis ini. Namun Allah SWT menakdirkan saya harus bertemu dengan Bang Joni, demikian saya sering menyapanya. Namun dari pertemuan inilah saya banyak belajar kepada Bang Joni tentang makna seni.
“Seni itu kejujuran. Saya tidak bisa melukis tanpa ketulusan dan kejujuran yang ada dalam hati dan pikiran,” kata Bang Joni dalam suatu malam pertemuan kepada saya. Kata sederhana yang sarat makna, menelisik hati dan saya seperti sedang mengunyah racikan jamu berbahan natural tanpa zat kimia. Tulisan ini merupakan salah satu hasil pertemuan saya dengan seni lukis kelahiran Desa Kemurang Wetan, Kecamatan Tanjung, Kabupaten Brebes. Kami berdua sering bersua dan saling eksplorer ide, gagasan dan mimpi tentang bagaimana memberdayakan masyarakat, bagaimana mainstream masyarakat di perdesaan bisa diubah pelan-pelan.
Saya tidak tahu apakah ada naluri seni dala diri. Saya juga tidak tahu apakah ada keturunan darah seni, tapi saat melihat lukisan natural bergambar buah jeruk dengan tetesan embun dan dirangkul dedaunan yang hijau hati saya terasa sejuk. Lukisan itu seperti memancarkan semangat, kesegaran dan kesabaran. “Air meskipun hanya tetesan embun tapi dia adalah sumber kehidupan,” kata Bang Jon kepada saya menjelaskan filosofi lukisan natural itu. Inilah yang mendorong saya untuk membeli lukisan itu kepada Bang Joni. Seni itu membuat indah isi dunia, seni mampu memompa semangat dalam diri seseorang, seni juga mendorong perubahan. Seperti itulah seharusnya jiwa seorang politisi, tanpa kenal waktu bekerja untuk rakyat, bekerja dengan ketulusan, melayani dengan kejujuran bukan pura-pura.
Politik tanpa seni maka yang ada kekauan, seram dan terasa hambar. Seni membuat politik itu menjadi indah, demikian kata Anis Matta. Politik adalah bagian dari seni yang saat ini seperti bertentangan. Padahal jika politik dipoles dengan seni maka sang politisi akan merasa memiliki beban moral dan beban moral itu adalah ketulusan, kejujuran dan bagaimana seorang politisi bisa memberikan “nyawa’ kepada setiap pembacanya, penerang di setiap sudut kehidupan. “Penyanyi, pelukis dan penulis adalah seniman. Hanya saja beda garapan,” kata Bang Joni. Saya masih melihat polesan seni pada diri seorangn politisi tidak tampak sehingga politik yang sebetulnya hanya alat menjadi apa yang dikatakan Anis Matta seperti permainan yang membahayakan.
Saling sikut, saling ejek, salin serang menjadi tontontan yang tampil setiap hari dan sudah membosankan. Politik memang tidak bisa lepas dari “peperangan” namun jika hal itu dibingkai dengan seni maka peperangan itu akan menjadi indah. Sayang politik kita masih kurang polesan seninya sehingga kasar, miskin makna dan lebih banyak hiruk pikuk yang tidak jelas dan nilai manfaatnya minus. Pada bagian lain, seniman juga mesti paham politik supaya mampu menjaga integritasnya sebagai penebar ketulusan dan kejujuran kepada masyarakat. Kejujuran dan ketulusan inilah yang menjadi modal kuat seorang seniman dan selayaknya politisi meniru prinsip dasar seniman.
Mewarnai politik dengan seni menjadi keniscayaan, apalagi di waktu-waktu seperti sekarang ini dimana politik seperti jurang hidup yang siap menarik politisi untuk masuk ke dalam jurang itu. Jurang itu berlumpur dan lumpurnya pun hidup. Menyeramkan, mengerikan dan menakutkan, itulah gambar perpolitikan di tanah air kita saat ini. Wajar kalau kemdian sebagian besar mengatakan bahwa politik itu kejam. Betulkan demikian? Menurut penulis tidak. Politik hanyalah alat seperti halnya sebuah pisau. Jika pisau itu dipegang di tangan ahli masak maka akan digunakan untuk memotong bumbu dan rempah-rempah sehingga masakah lebih mudah dimasak. Namun jika pisau itu jatuh di tangan penjahat apa yang akan terjadi?.
Tidak berbeda dengan politik. Jika dikuasai atau dipegang oleh politisi bewatak jahat, suka merusak bumi dan isinya, penuh kepura-puran, licin seperti belu atau politisi kerdil maka politik menjadi gerakan penghancur. Dan jika politik dipandang sebagai rebutan kekuasan bukan kompetisi maka yang ada musuh dan lawan bukan kompetitor. Akibatnya, saling bunuh karakter politisi sering terjadi, jebak menjebak tidak terelakan, siapa yang benar dan siapa yang salah menjadi samar, dinamika yang seharusnya indah dilihat menjadi kekacauan yang membuat pikiran positif terganggu, semangat kebangsaan carut marut dan kreativitas generasi muda menjadi berhenti total.
Momen peringatan Sumpah Pemuda 28 Oktober bisa menjadi memoentum untuk memoles wajah politik di tanah air. Dan bangsa ini menitipkan semua itu kepada generasi muda yang masih memiliki idealisme, semangat dan bisa melakukan akselarasi perubahan. Semoga permintaan Presiden Soekarno agar diberikan 10 pemuda untuk mengubah dunia dikabulkan atau kisah Ashabul Kahfi, kisah tujuh pemuda yang taat pada Allah SWT dan mereka mendapat pertolongan yang tepat dan dibutuhkan.
Brebes, 28 Oktober 2013
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H