Lihat ke Halaman Asli

Membaca Sikap Jokowi dalam Wacana Kenaikan Harga BBM

Diperbarui: 18 Juni 2015   02:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Agak susah memang bagi Jokowi untuk memutuskan kenaikan harga BBM. Di satu sisi, secara ekonomi, semua setuju bahwa subsidi BBM sangat-sangat membebani keuangan negara. Secara politik, kenaikan harga BBM menjadi keputusan yang tidak populer. Meskipun Jokowi sendiri siap untuk menjadi tidak populer karena keputusannya, ganjalan utama adalah pada pendapat para politikus yang mempertanyakan konsistensi PDIP yang dulu tegas menolak kenaikan harga BBM. Keputusan Jokowi menaikkan harga BBM dipastikan menjadi sasaran empuk untuk diserang (bahkan tidak menutup kemungkinan dijatuhkan) pihak lawan politik dalam Pilpres 2014 yang masih emosional karena calon presiden yang diusung tumbang.

Namun Jokowi sendiri dalam kampanyenya memiliki utang kepada rakyat Indonesia untuk melakukan revolusi mental. Kalau revolusi diidentikkan dengan perubahan, maka sebenarnya kenaikan harga BBM ini sebenarnya bisa jadi pembelajaran perubahan mental rakyat Indonesia menyikapi pengelolaan BBM, terutama dalam kaitannya ; (1) dukungan rakyat kepada pemerintahannya dalam pengelolaan anggaran negara, (2) kepedulian kepada generasi selanjutnya akan pengelolaan sumber daya alam, (3) kedewasaan warga dalam penggunaan sumber energi tak terbarukan yang semakin terbatas.

Mari kita 'jlentrehkan' satu-satu.

Dukungan rakyat kepada pemerintahan dalam pengelolaan anggaran negara tercermin dari kerelaan rakyat untuk mengurangi tingkat kenyamanan hidupnya bagi negara dan bangsa yang sedang 'sakit'.

Rakyat yang mana? Tentu saja rakyat yang level kenyamanannya sudah di atas rata-rata.

Level kenyamanan di atas rata-rata yang seperti apa? Di sinilah kita perlu berdiskusi, masyarakat dengan level kenyamanan seperti apa yang perlu direvolusi. Misalnya 'bodo-bodoan', kita gunakan rata-rata itu pada income per kapita. Maka masyarakat yang pendapatannya di atas income per kapita saat ini (data tahun 2013 sebesar US $3475) harus diturunkan tingkat kenyamanannya untuk tidak ikut-ikutan membebani anggaran negara supaya tidak lagi sakit. Pendapatan US $ 3475 saat ini setara dengan Rp. 3,7 juta per bulan.

Secara teknis, tidak bisa dibuat garis tegas mana yang pendapatannya di atas Rp. 3,7 juta dan mana yang di bawah itu, apalagi tingkat biaya hidup belum merata di seluruh tanah air. Namun jika misalnya kita ambil sampel di perkotaan, kelas masyarakat ini terlihat. Buruh industri jelas di bawah rata-rata itu. PNS di bawah golongan 3 dan level staf di perusahaan swasta juga bisa di taruh di bawah rata-rata. Perlu pembahasan panjang mengenai pembatasan kelas ini dari berbagai pekerjaan dan profesi, tingkat biaya hidup per daerah, tingkat kebutuhan hidup, dll.

Namun kita tidak sedang berkutat di situ. Lagian pemerintah kita sudah sangat berpengalaman menentukan UMR/UMK di setiap wilayah yang kurang lebih parameter-parameternya sama. Hanya kali ini bukan untuk pekerja tapi untuk seluruh warga. Kita cuma membayangkan, ternyata dengan model pembatasan seperti ini akan ada banyak warga masyarakat yang harus dikurangi level kenyamanannya demi membantu pemerintahan. Dan harus disadari bahwa mereka ini termasuk pemakan subsidi BBM paling buas!

Resistensi pasti terjadi di kalangan masyarakat, utamanya mereka yang belum lama merasakan kenyamanan atau pendapatannya memang tipis di atas batas rata-rata tadi. Tapi hal itu dikembalikan kepada niat. Jika pemerintah memang bisa membangun kesadaran warga untuk membantu anggaran negara, revolusi mental itu segera terjadi, di samping memang diperlukan kepercayaan rakyat pada pemerintah dalam mengelola keuangan negara.

Inilah yang terjadi pada negara-negara maju. Pemerintah yang transparan, akuntabel, efisien, sinergi, dan tidak korup lebih mudah mengajak warga untuk memberikan kepercayaan akan berkurangnya level kenyamanan itu ke pundaknya. Jokowi seharusnya bisa memainkan track recordnya untuk membangun kepercayaan ini. Ditambah lagi komposisi kabinet dan orang-orang yang bekerja di bawahnya nanti harus benar-benar dipilih dari mereka-mereka yang memiliki track record pekerja keras, bersih, efisien, dan bisa membangun sinergi antar-bidang.

Ada yang mengibaratkan hubungan pemerintah dan rakyat dalam hal subsidi ini dengan hubungan orang tua dan anak. Mereka bilang kalau kebutuhan anak memberatkan keuangan orang tua, maka kawajiban orang tua untuk mencari tambahan penghasilan daripada memotong anggaran kebutuhan anak. Ini benar dan idealnya seperti itu. Tapi orang tua yang baik juga tidak membuai anak dengan menuruti semua kebutuhannya, terlebih lagi ada anak-anaknya yang sudah bisa mandiri. Mereka tentu tidak harus memberati anggaran keluarga. Orang tua yang baik justru mendorong anak-anaknya untuk mandiri dan sedapat mungkin membantu keuangan keluarga untuk mencukupi kebutuhan saudara-saudaranya yang belum mampu sehingga kebijakan untuk meneteki mereka-mereka yang sebenarnya secara kemampuan sudah bisa mandiri bisa diartikan sebagai penghambur-hamburan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline