Lihat ke Halaman Asli

Mbedah Alam

Pegiat Kutubut Turost

Nenek Imah dan Takjil Puasa

Diperbarui: 8 Mei 2019   20:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambar: jbkderry.files.wordpress.com

Nenek Imah memang sudah uzur, umurnya yang memasuki tahun 75 tak membuatnya lemah dan malas-malasan menjalani puasa Ramadan kali ini.

Walaupun hidup sendirian tak membuatnya mengeluh, sejak tiga anaknya meninggal karena kecelakaan saat rombongan bis, Nek Imah hidup sebatang kara.

Penghasilan dari berjualan bubur beras merah cukup membuat dapurnya tetap mengepul. Tak banyak yang diperoleh dari berjualan bubur di tepi jalan pinggir pesantren. Kebanyakan pelanggannya adalah para santri. Tiap pagi selalu menyerbu lapak nek Imah buat beli sarapan. Harga yang murah dan rasa yang lezat membuat ketagihan pelanggannya, apalagi para santri, warung yang dicari ada ciri khasnya; murah harganya, dapat banyak dan enak rasanya.

Menjelang magrib, lapak nek Imah selalu penuh pembeli, selain para santri banyak juga orang kampung yang memanfaatkan untuk sekedar beli takjil di lapak nek Imah.

Sudah menjadi tradisi nek Imah, tiap ramadan akan menambah jumlah dagangannya. Selain jualan takjil bubur merah, nek Imah juga menjual macam-macam makanan ringan, ada tahu bakso goreng, kleyem goreng, rondo royal yaitu tape ketela yang digoreng dibungkus gandum, tak lupa es degan menjadi primadona pencari takjil ramadan.

Hari pertama ramadan ini, warung nek Imah buka dari jam empat sore, tidak seperti biasanya yang buka dari pagi. Setiap ramadan jadwal lapak nek Imah berubah jam bukanya. Menjelang magrib biasanya dagangan sudah habis diserbu para pembeli. Selain terkenal lezat juga murah meriah.

Lumayanlah penghasilan nek Imah dari jualan dagangannya, kalau hanya untuk kebutuhan makan, dirasa lebih dari cukup.

"Kang, ini satu teko es degan nanti dibagi sama temen-temen di pondok ya". Kata nek Imah pada seorang santri.

Kebiasaan nek Imah, ditiap ramadan selalu menyisakan satu teko es degan untuk dibagikan ke anak pesantren dekat lapaknya. Suatu kebiasaan yang biasa dinantikan anak pondok, menunggu gratisan es degan dari nek Imah, lumayan, sekedar menghemat uang saku dan bekal di bulan ramadan.

"Iya, nek.". Jawab seorang santri.

Sambil membenahi lapaknya karena waktu azan magrib sudah berkumandang, di waktu seperti ini para pembeli sudah sepi. Nek imah berkemas untuk pulang dari lapaknya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline