Setelah Danau Toba ditetapkan Pemerintah sebagai salah satu destinasi pariwisata unggulan nasional, tidak lantas bersinergi dengan status Kaldera Toba sebagai Geopark Nasional. Padahal, sudah disepakati bahwa pengembangan pariwisata Danau Toba, itu berbasis geopark. Oleh karenanya, sinergitas semua institusi yang dibentuk untuk memajukan Kawasan Kaldera Toba (KKT) adalah keharusan, agar tujuan mulia yang dicita-citakan tercapai efektif dan efisien.
Institutionalisasi pengembangan KKT saat ini mengerucut ke-2 institusi resmi, yakni Badan Pengelola Geopark Kaldera Toba (BPGKT) dan Badan Pelaksana Otorita Danau Toba (BPODT). BPGKT berdasarkan Pergub No. 34 Tahun 2015, tentang BPGKT pengelolaannya dibawah Gubsu, sedangkan BPODT dipayungi Perpres No. 49 Tahun 2016, tentang Badan Otorita Pengelola Kawasan Pariwisata Danau Toba dibawah Kementerian Pariwisata RI. Ke-2 institusi ini mengelola KKT secara menyeluruh, namun harus kordinasi dengan ke-7 Pemkab Kawasan, Pemprovsu, dan Kementerian terkait, warga lokal serta elemen-elemen masyarakat sipil.
Geopark (taman bumi) diyakini adalah salah satu konsep terbaik untuk pengembangan Kawasan Danau Toba. Inti masalah utama KKT selama ini adalah, pertama massifnya aktivitas degradasi lingkungan luar dan dalam danau yang juga turut mengancam keberadaan situs-situs geologi-biologi dan budaya kawasan, keduaaksesibilitas yang cukup terbatas baik darat, danau dan udara, ketigalambatnya peningkatan tingkat kesejahteraan masyarakat setempat. Itu sebabnya pariwisata Danau Toba kurun waktu 3 dekade terakhir jalan di tempat.
Geopark secara konsep filosofis, semestinya menjawab ketiga masalah KKT di atas. Sebagai salah satu model pembangunan berkelanjutan, geopark di suatu daerah dapat menjadi siasat menyelamatkan kawasan dari degradasi lingkungan. Pesan utamanya adalah merayakan kembali hubungan harmonis manusia dengan alam, sekaligus memastikan peningkatan ekonomi masyarakatnya secara berkelanjutan.
Karenanya, memajukan Geopark Kaldera Toba (GKT) sama halnya dengan menjawab impian generasi sekarang dan mendatang. Dari aktivitas ekonomi ekstraktif menjadi konservatif, sesuai “Agenda 21”. Istilahnya, semakin dilestarikan semakin mensejahterahkan.
Kembali ke masalah GKT. Sekedar mengevaluasi ke belakang, GKT sudah diperkenalkan sejak 2011, dan ditetapkan pemerintah sebagai Geopark Nasional Tahun 2013. Kemudian dikukuhkan Presiden RI, 27 Maret 2014. Akan tetapi, progress GKT terutama di lapangan terbilang masih jauh panggang dari api. Pemerintah, utamanya dalam dukungan anggaran sangat minim memberikan porsi untuk pembenahan situs-situs GKT. Jika dibanding Ciletuh dan Merangin geopark yang berstatus geopark nasional Indonesia, sekalipun bukan destinasi prioritas pariwisata nasional, GKT jelas tertinggal, terutama dari sisi pembenahan situs-situs geosite.
Alhasil, pada Konferensi Geopark Global UNESCO (UGG) di Jepang, September 2015 lalu, GKT belum dapat dikukuhkan sebagai anggota UGG, karena dianggap belum matang. UGG kemudian memberikan 5 rekomendasi kepada Pemerintah Indonesia melalui delegasi Tim GKT Nasional. Inti rekomendasi itu adalah agar GKT harus operasional dulu di lapangan, yakni adanya aktivitas edukasi, pembenahan panel-panel edukasi geosite GKT, konservasi dan promosi budaya kawasan secara berkelanjutan.
Selanjutnya, UGG memberikan waktu tenggang 2 tahun atau di Tahun 2017, bagi Pemerintah Indonesia untuk mendaftar kembali GKT ke UGG, dengan catatan telah memenuhi ke-5 rekomendasi Unesco di atas.
Dalam perkembangannya, KKT bukan saja sebagai Kawasan GKT nasional, seperti disebutkan di atas, telah ditetapkan sebagai project utama pengembangan destinasi pariwisata nasional. Tidak tanggung-tanggung, KKT akan jadi indikator utama keberhasilan penciptaan “10 Bali baru” di Indonesia. Pemerintah kemudian membentuk BPODT, yang dilantik 30 November 2016. Awal tahun ini, BPODT akan menyiapkan master plan pengembangan KKT sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN), selama 25 tahun ke depan.
Visi utama BPODT adalah menjadikan destinasi Super-volcano geopark kelas dunia dengan target kunjungan 1 Juta Wisman dengan devisa 16 Triliun Rupiah pada tahun 2019. Artinya, indikator keberhasilan BPODT ini adalah kunjungan Wisman, dengan branding: Geopark Kaldera Toba “Super-volcano”. Disinilah pentingnya sinergitas pengelolaan agar tidak terkesan tumpang tindih, utamanya institusi BPODT dengan BPGKT untuk menghadirkan 1 Juta Wisman di KKT. Dengan kata lain, keberhasilan pengelolaan GKT dan diterima sebagai anggota UGG Tahun 2018, menjadi entry pointsangat penting, keberhasilan destinasi Danau Toba berkelas internasional.
Sinergitas