Lihat ke Halaman Asli

Saipul Jamil Tak Paham Keselamatan Berkendara

Diperbarui: 26 Juni 2015   02:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tulisan saya sebelumnya bertajuk “Catatan dari Tragedi Saipul Jamil” banyak mendapat komentar dari Kompasianer. Saya ucapkan terima kasih atas atensi yang besar ini, sekaligus menyampaikan permohonan maaf karena tidak sempat membalas satu persatu tanggapan yang didominasi pertanyaan dan saran dimaksud. Namun, tidak perlu khawatir pula. Karena tanggapan dan juga sebagian pertanyaan, akan saya jadikan sebagai acuan untuk membahas lebih banyak dan lebih komprehensif lagi persoalan di seputar road safety yang sepertinya masih menjadi informasi yang langka bagi pemilik kendaraan di Indonesia.

Dalam kaitan tragedi kecelakaan mobil yang menimpa penyanyi dangdut Saipul Jamil dan menewaskan istrinya, Virginia Anggaraeni, memang sampai kini belum diperoleh kesimpulan dan detail penyebabnya. Ini juga dikarenakan pihak kepolisian belum merampungkan penyelidikan atas musibah ini. Namun, dari berbagai berita yang dilansir media massa, saya semakin memperoleh gambaran bahwa Saipul Jamil, tergolong satu dari ribuan dan bahkan mungkin jutaan pengemudi di Indonesia yang tak mengerti dan tidak memahami prinsip-prinsip dasar dalam keselamatan berkendara.

Dari sebuah berita yang dilansir dengan mengutip keterangan Kapolres Purwakarta yang membawahi wilayah terjadinya kecelakaan, disebutkan bahwa mobil Toyota Avanza yang dikemudikan sendiri Saipul Jamil mengangkut 10 orang penumpang. "Mobil itu ditumpai 10 penumpang, jelas ini melebih kapasitas mobil Avanza, yang hanya muat maksimal 7 penumpang," jelas Ajun Komisaris Besar Polisi Bahtiar Ujang seperti dikutip media.

Bahtiar Ujang bahkan mendeskripsikan dengan jelas formasi duduk kesepuluh penumpang dimaksud. Menurutnya, 3 orang berada di posisi depan, kemudian 4 orang di bagian tengah, dan 4 orang di bagian belakang. "Ada satu anak kecil (keponakan Saipul) yang berada duduk di bagian depan. Tapi Alhamdulillah tidak mengalami luka," ujar Bahtiar Ujang lagi.

Mengacu dari informasi awal pihak kepolisian ini, saya ingin mengurainya menjadi fakta-fakta yang saya katagorikan sebagai potensi awal terjadinya kecelakaan. Tanpa mengesampingkan rasa belasungkawa saya terhadap korban Saipul Jamil, tulisan ini saya turunkan dengan niat sekadar berbagi dengan harapan bisa bermanfaat bagi pengemudi lainnya.

Membiarkan keberadaan seorang anak kecil yang duduk di jok depan, sesungguhnya sudah merupakan sebuah kecerobohan. Bila seorang Saipul Jamil memahami prinsip keselamatan yang paling mendasar dalam berkendara, tentulah tidak akan mengizinkan keberadaan anak kecil duduk di kursi depan ini.

Menurut aturan satandar road safety di berbagai negara maju, anak berusia antara 4 hingga 7 tahun disyaratkan menggunakan booster seats. Kebijakan ini ternyata mampu menurunkan tingkat fatalitas terhadap anak dalam kecelakaan lalu lintas hingga hampir 60%. Sementara anak usia 12 tahun ke bawah dan memiliki tinggi badan kurang 1.25 meter, andaikan tidak memakai buckle seat, akan lebih aman bila duduk di jok tengah atau belakang.

Apalagi, Avanza memiliki konstruksi jok individual atau terpisah di bagian depan. Bila jok depan mobil ini berisi dua penumpang dewasa (termasuk) pengemudi, maka dipastikan anak kecil yang disebut sebagai keponakan Saipul Jamil jelas tidak menggunakan sabuk keselamatan atau seat belt. Maka adalah suatu keberuntungan luar biasa, bila sang anak ternyata tidak mengalami cedera. Toh, bagi saya ini rujukan pertama untuk menyatakan Saipul Jamil tidak mengerti potensi bahaya.

Namun yang paling memprihatinkan yakni fakta awal yang menyebut Avanza ini diisi 10 penumpang yang berarti ada 10 orang penumpang dewasa ditambah satu orang anak kecil. Andaikan saya menghitung hanya 10 orang saja dengan bobot rata-rata tiap penumpang 50 kg, maka ada tambahan bobot pada kendaraan sebesar 500 kg. Lantas, apa kaitan bobot ini dalam proses berkendara yang berakhir dengan kecelakaan fatal tersebut?

Lagi-lagi, saya ingin mempertegas korelasi antara pemahaman teknis dengan aspek safety driving. Saya mendahulukan aspek teknis terkait hubungan antara performa ban dengan bobot yang dipikulnya. Lagi-lagi pula, dari berita yang dilansir, Avanza yang digunakan Saipul Jamil merupakan mobil sewaan atau rental. Asumsi saya, pada umumnya mobil rental tidak mengalami banyak perubahan dari spesifikasi standarnya, termasuk ban standar yang dipakai. Bila memang demikian, besar kemungkinan dan kita asumsikan ban yang digunakan dari produk Bridgestone S248 dengan ukuran 175-80 R14. Ini setara dengan ban standar dalam spesifikasi Avanza yang menyebut ukuran 185-70 R14.

Saya jelaskan pengertian rangkaian angka dan huruf terkait ban ini. Angka 175 menunjukkan lebar tapakan ban 175 mm sedangkan angka 80 merupakan aspect ratio. Angka aspec ratio dimaksud mewakili ukuran ketinggian dinding ban (side wall) dengan dasar persentase.Sehingga bila dihitung, tinggi dinding ban yang digunakan yakni 80% dikalikan lebar tapakan (175 mm). Huruf dan angka R14, memiliki arti jenis ban ini adalah Radial (R) dengan diameter lingkar roda bagian dalam sebesar 14 inch.

Dari segi speed rating, kedua jenis ban masing-masing memiliki symbol S. Artinya, kecepatan kendaraan yang memakai ban ini direkomendasikan maksimum 180 km/jam. Namun dalam anjuran keselamatan, sebaiknya ada cadangan 25% dari batas maksimum. Artinya, batas kecepatan untuk pemakaian jenis ban ini sebaiknya tidak lebih dari 140 km/jam dalam kondisi normal (beban muatan dan tekanan angin ban). Saya yakin, kecepatan mobil Saipul Jamil sesaat sebelum peristiwa tidak lebih dari 140 km/jam.

Namun, ada hal lain yang patut menjadi pertimbangan; beban kendaraan. Ini terkait dengan index beban. Pada umumnya, standar index beban ban yang digunakan mobil jenis ini adalah 88. Bila dikonversi, pada table, angka ini menghasilkan kapasitas beban maksimum 560 kg. Karena Avanza dilengkapi 4 roda, beban maksimum yang bisa dipikul sekitar 2.240 kg. Lagi-lagi, saya menyisihkan 25% persen dari beban maksimum dimaksud untuk alasan keselamatan sehingga angka realnya menjadi 1.680 kg.

Sekarang, kita berhitung. Bobot kosong Avanza menurut spesifikasinya adalah 1.045 kg untuk tipe bermesin 1.3 liter. Jangan lupa, karena ini berat kosong, harus dilakukan penambahan lain, termasuk kemungkinan aksesori tambahan, berbagai macam fluida, bahan bakar di tangki yang boleh jadi menggenapkan bobotnya menjadi 1.100 kg. Setelah itu, tambahkan bobot keseluruhan penumpang yang kita asumsikan 500 kg sehingga total menjadi 1.600 kg.

Angka ini, masih masuk dalam batas load index capacity tapi sudah pada area maksimum. Itu pun dengan catatan, ban yang dipakai masih tergolong baru dan tekanan angin ban sesuai standar yang direkomendasikan produsen mobil yang biasanya antara 30 – 33 psi (standar minimum Bridgestone untuk ban ini adalah 26 psi).

Apa dampak yang bisa ditimbulkan dari angka-angka ini? Ancaman paling utama, adalah ban meledak. Jangan salah kaprah, ledakan ban bukan disebabkan oleh tekanan dari bobot yang dipikulnya seperti halnya bila kita mencoba meledakkan balon udara. Tapi proses meledaknya ban, disebabkan oleh kerusakan konstruksi dinding ban (sidewall). Ini sangat rentan terjadi, bila tekanan angin di dalam ban kurang dari standar yang disyaratkan. Jadi, potensi ban meledak bukan karena kelebihan tekanan angin, tapi justru karena kekurangan yang diawali dari proses rusaknya konstruksi ban.

Dalam tragedy yang menimpa Saiful Jamil, memang penyebabnya bukan pecah ban. Namun, tujuan saya membeberkan ini, menunjukkan bahwa potensi bahaya dari ban meledak sebenarnya sudah ada dari awal. Ini bukti kedua, Saipul Jamil tidak memahami atau kurang menyadari potensi bahaya dalam berkendara. Namun, korelasi kelebihan beban muatan dari kapasitas normal Avanza sebanyak 7 orang penumpang menjadi 10 penumpang, tetap memberi andil pada terjadinya kecelakaan. Kenapa?

Saya kembali mengutip keterangan Kapolres Purwakarta, AKBP Bahtiar Ujang yang menggambarkan kondisi medan di Km. 97 tol Cipularang arah Bandung-Jakarta yang menjadi tempat peristiwa naas ini. Di kilometer itu bukan hanya belokan, tapi juga turunan. Begitu kurang lebih deskiripsi AKBP Bahtiar Ujang.

Bagi yang pernah melintasi ruas tol Cipularang dari arah Bandung menuju Jakarta, dominasi jalan menurun sebenarnya sudah terjadi selepas bekas gardu tol Padalarang. Ini skenario yang sangat mungkin menjadi pemicu kecelakaan. Dari keterangan petugas Jasa Marga di lokasi, mobil Avanza B 1843 UFU yang dikemudikan Saipul Jamil di saat peristiwa, melaju tidak kurang dari 80 km/jam. Apa artinya? Angka 80 km/jam itu dihitung tentu setelah ada proses perlambatan. Jadi, faktualnya sangat mungkin mobil ini melaju sekitar 100 km/jam.

Ruas jalan yang didominasi turunan, beban mobil yang melebihi kapasitas, kondisi lalu lintas yang pasti ramai oleh arus balik, jumlah lajur yang hanya ada dua, merupakan kombinasi yang boleh jadi tidak pernah terpikirkan oleh pengemudi. Jalan menurun, beban berat, lalu lintas yang ramai ditambah kecepatan tinggi, memaksa pengemudi akan lebih banyak menggunakan rem. Inilah awal petaka itu.

Rem yang sering digunakan karena tuntutan keadaan, tanpa disadari mengalami pemanasan yang waktunya bisa lebih cepat dari kondisi pengereman normal. Percepatan pemanasan ini, juga sangat dipengaruhi oleh bobot mobil karena rem memerlukan cengkraman lebih kuat untuk proses perlambatan. Panas dari pergesekan sepatu rem dengan cakram (di depan) dan drum (di roda belakang), menimbulkan panas berlebih yang dengan cepat menjalar ke Ffuide (minyak) rem. Terjadi sumblimasi, yakni masuknya gelembung-gelembung udara ke dalam fluida. Akibatnya, daya tekan fluida yang berdampak pada daya cengkram kaliper rem pun berkurang dengan perlahan tapi pasti.

Pengemudi biasanya belum menyadari dan terus memacu mobilnya. Siapa yang tahu apa yang dialami Saipul Jamil menjelang saat-saat terjadinya kecelakaan? Saipul sendiri masih memberikan keterangan yang berubah-ubah. Ada yang menyebut karena terpepet oleh bus, sementara pernyataan lain menyebutkan pengaruh hempasan angin (crossing wind). Alasan terakhir ini bisa ditepis, karena pada saat kejadian tentu ada kendaraan lain melaju di lokasi yang sama. Crossing wind juga member dampak fatal hanya pada mobil yang melaju kencang. Hampir serupa dengan dampak genangan air yang menghasilkan dampak gejala aquaplaning.

Saya malah berpretensi seperti berikut ini. Bahwa tanpa disadari, kemampuan rem terus menurun, namun mobil tetap dipacu pada kecepatan tinggi. Pada suatu titik, boleh jadi sebuah bus bergeser tiba-tiba ke lajur kanan untuk mendahului kendaraan lain mengingat ruas tol ini hanya terdiri atas dua lajur. Saipul Jamil yang melaju dari belakang, boleh jadi tidak mengantisipasi kemungkinan ini. Tindakan pertama yang dilakukannya, tentu menginjak pedal rem.

Petugas kepolisian, konon tidak menemukan jejak gesekan roda tanda pengereman. Ini justru memperkuat analisis saya, bahwa sebenarnya ada upaya Saiful Jamil menekan pedal rem. Namun faktanya, rem sudah tidak berfungsi (braking failure) akibat penggunaan yang terus menerus sebelumnya. Ketika menyadari hal ini, ruang untuk menghentikan laju kendaraan sudah tidak cukup. Maka tindakan yang paling memungkinkan – dan ini sangat manusiawi – mengarahkan mobil ke sisi lebih luar di bagian kanan. Mobil pun menabrak median pembatas tengah jalan tol. Istri Saipul Jamil, Virginia Anggraeni yang sejak awal saya yakini tidak memakai seat belt, terpental keluar mobil dan tewas seketika.

Hingga di sini, saya sudah menemukan setidaknya empat point yang menjelaskan bahwa Saipul Jamil sama sekali tidak mengerti potensi bahaya berkendara. Poin pertama dan kedua, soal keberadaan anak kecil tadi dan yang kedua terkait ancaman ban meledak akibat kelebihan beban muatan. Lalu yang ketiga, jalan menurun, beban berat dan kecepatan tinggi dalam kondisi lalu lintas ramai, bisa berakibat gagalnya sistem rem akibat panas berlebih. Dan yang keempat, Saipul Jamil yang mengetahui membawa jumlah penumpang cukup banyak tidak memperhatikan situasi arus lalu lintas dan melakukan penyesuaian jarak aman dengan kendaraan di depan.

Jadi, bila ada analisis yang menggiring persoalan ini kepada mitos yang berbau mistis, sebaiknya dikesampingkan. Sebagai manusia modern yang mengandalkan pemikiran rasional, sebuah peristiwa harus dipandang sebagai konsekuensi dari sebuah akibat. Dan ironisnya, semua itu umumnya terjadi karena minimnya pengetahuan dan kurangnya kesadaran kita terhadap potensi bahaya.

Sekali lagi, be smart before you drive, Smart Drive.

Salam,

@karman_mustamin

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline