Lihat ke Halaman Asli

Agung Karisma Timur

Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Negeri Malang

Hadapi Perkembangan Teknologi Informasi Menggunakan Akal Sehat

Diperbarui: 16 Oktober 2024   22:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nuruljadid.net

Perkembangan teknologi digital di masyarakat menjadi permasalahan baru. Perkembangan dunia digital membawa aspek positif dan negatif sekaligus, sehingga diperlukan filter internal di sini agar pengguna dapat memanfaatkannya dan terhindar dari dampak negatif kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Penyebaran hoaks yang sangat marak terjadi secara langsung memberikan dampak dalam kehidupan di masyarakat. Kemajuan teknologi digital tidak hanya memberikan sumber informasi yang benar, tetapi juga bisa memberikan akses untuk menyebar luaskan berita hoaks.

Hoaks Lebih Sensasional dan Viral

Di era digital, berita yang sensasional atau mengejutkan cenderung lebih cepat menyebar. Hoaks sering dirancang untuk menarik perhatian dan mudah dibagikan, meskipun tidak benar. Ini membuat hoaks lebih populer daripada berita fakta yang biasanya lebih kompleks dan membosankan.

Banyak orang lebih tertarik pada nilai hiburan dan sensasi, daripada mencari tahu apakah informasi itu benar. Ini diperparah dengan rendahnya literasi media, di mana banyak orang belum terbiasa memeriksa atau memverifikasi sumber berita. Mereka cenderung langsung percaya dan membagikan berita yang tampak menarik, tanpa berpikir apakah itu benar atau tidak.

Di zaman serba digital ini, hoaks atau berita palsu semakin mudah tersebar, terutama melalui media sosial. Ironisnya, banyak orang Indonesia yang mempercayai hoaks dibandingkan fakta yang benar. Mengapa hal ini bisa terjadi ?

Majelis Logika

Menurut Sudut Pandang Filsafat

Dari sudut pandang filsafat teknologi, teknologi informasi dan media digital berperan dalam membentuk cara kita memahami dunia. Ketergantungan yang berlebihan pada informasi instan dari media sosial dan ketidakmampuan untuk melakukan verifikasi mandiri menjadi masalah etis di era digital ini.

Dari perspektif aksiologi, menyebarkan hoaks bukan hanya soal nilai sosial atau kebenaran, tapi juga soal etika. Ada tanggung jawab moral bagi setiap orang untuk memastikan bahwa informasi yang mereka bagikan tidak merugikan orang lain. Menyebarkan hoaks bisa mengakibakan dampak buruk, seperti merusak reputasi, menimbulkan konflik sosial, atau menciptakan ketidakpercayaan di masyarakat.

Aksiologi, yang membahas tentang nilai, berperan dalam memahami ”mengapa seseorang lebih memilih untuk mempercayai hoaks ?”. Dalam hal ini, nilai-nilai sosial seperti pengaruh komunitas dan otoritas informal bisa lebih diutamakan daripada nilai nilai kebenaran atau rasionalitas. Dalam beberapa kasus, orang mungkin merasa lebih terhubung secara emosional atau sosial dengan narasi hoaks, karena narasi tersebut lebih sesuai dengan nilai kelompok, identitas politik, atau sentimen nasionalisme. Dalam beberapa kasus, hoaks sengaja digunakan untuk manipulasi politik atau sosial, untuk mempengaruhi pendapat publik atau merusak tatanan sosial demi keuntungan pribadi atau kelompok tertentu. Hal ini menimbulkan masalah etis yang besar, karena kebenaran dan keadilan dikorbankan demi kepentingan pihak tertentu. Masyarakat Indonesia yang beragam, informasi yang bersifat sensasional atau emosional mungkin dianggap lebih relevan daripada informasi berbasis fakta dan logika. Hal ini memperlihatkan bagaimana propaganda atau informasi yang tidak valid dapat berkembang jika masyarakat lebih mementingkan nilai sosial atau emosional daripada nilai kebenaran.

Dari perspektif moral, kepercayaan pada hoaks tanpa mencari kebenaran dapat dilihat sebagai tindakan yang tidak etis, terutama jika hal itu berdampak negatif pada masyarakat. Filsafat moral menekankan tanggung jawab individu dalam mengevaluasi dan menyebarkan informasi yang akurat. Kurangnya verifikasi bisa berakibat buruk, terutama jika informasi tersebut memicu ketakutan, kebencian, atau bahkan kekerasan. Dalam hal ini, etika informasi mengajarkan pentingnya menyaring dan memastikan bahwa informasi yang kita terima dan bagikan adalah benar. Tidak melakukan ini dapat dianggap sebagai bentuk kelalaian moral, yang menyebabkan orang ikut serta dalam menyebarkan kebohongan atau misinformasi, meskipun tanpa niat jahat.

Untuk dapat menghindari hoaks, hendaknya seseorang harus mengkaji informasi yang diterima dengan melihat kesesuaian antara pernyataan dengan kenyataan. Di sini dapat dilihat bahwa benar tidaknya informasi yang diterima juga dilihat dari hubungan antara sebuah pernyataan dengan ilmu pengetahuan yang ada sebelumnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline