Lihat ke Halaman Asli

Karisma Nabila

Saya mahasiswa

Perkawinan Wanita Hamil dalam Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam

Diperbarui: 29 Februari 2024   18:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

1. Mengapa pernikahan Wanita hamil terjadi dalam masyarakat?

Seperti kasus di ponorogo, Pemerintah Kabupaten Ponorogo mencatat ada 191 anak yang mengajukan dispensasi nikah sepanjang 2022. Dari jumlah itu, 176 permintaan dikabulkan oleh Pengadilan Agama (PA). Meski angka ini di bawah kabupaten/kota lain di Jawa Timur, namun telah membuat pemkab gelisah. Mengutip NU Online, Psikolog Islam Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Rakimin Al-Jawiy menanggapi soal pelajar hamil di luar nikah di Ponorogo. Ia mengungkap ada faktor-faktor yang menyebabkan remaja hamil di luar nikah dari sisi psikologis. 

"Secara umum hamil di luar nikah di kalangan remaja, bisa disebabkan oleh beberapa faktor seperti, kurangnya pengetahuan bahaya seks, pola asuh orang tua yang salah, ekonomi keluarga yang sulit, hingga minus pemahaman ilmu agama dan faktor lingkungan sosial yang menjadikan pergaulan bebas tanpa batas," jelasnya.

Dia mengatakan, pergaulan bebas yang dipraktikkan dalam bentuk pacaran bisa menjerumuskan remaja pada hubungan layaknya suami istri. Hubungan terlarang ini bisa mengakibatkan hamil di luar nikah.

Karena kurangnya pengetahuan atau pemahaman terhadap agama, pergaulan bebas, kurangnya pengawasan orang tua dan juga faktor broken home

2. Apa yang menjadi penyebab terjadi pernikahan Wanita hamil?

faktor zaman, pendidikan kurang, tidak memahami nilai-nilai agama dan moralitas, serta faktor ekonomi

3. Bagaimana argument pandangan para ulama tentang pernikahan Wanita hamil

Sebagian ulama mengatakan tidak dibenarkan (haram) menikahi wanita dalam keadaan hamil karena ada ayat Al-Quran yang sudah jelas menerangkan hukumnya serta beberapa pendapat ulama mazhab, ada sebagain mengatakan boleh pernikahan wanita dalam keadaan hamil.

Pertama, menurut Imam Shafi'i yang membolehkan kawin hamil maka status dan kedudukan anaknya adalah jika anak zina yang dilahirkan setelah enam bulan dari perkawinan maka anak itu hanya bisa dinasabkan kepada ibunya, karena keberadaannya dalam kandungan mendahului perkawinan ibunya, maka bayi tersebut termasuk anak zina. Kedua, menurut Imam Hanafi yang membolehkan kawin hamil maka status anak dan kedudukan anak zina tetap dinasabkan kepada suami ibunya (bapaknya) tanpa memepertimbangkan lamanya usia kehamilan ibunya. Hal ini karena perkawinannya tersebut sah, maka anak yang lahir dihukumkan sebagai anak yang sah.

Ketiga, menurut Imam Hambali dan Imam Maliki yang menolak tentang kawin hamil, bahwa anak yang dikandung dari wanita hamil akibat zina adalah tetap menjadi anak zina dan anak yang tidak sah yang lahir di luar perkawinan. Sehingga anak yang dikandung tidak ada hubungan nasab kepada laki-laki yang mencampuri ibunya, tidak bisa saling mewarisi antara laki-laki yang mencampuri ibunya dengan anaknya, melainkan mewarisi hanya kepada pihak ibu dan kerabat ibunya saja, selain itu jika anak yang dilahirkannya adalah anak perempuan maka tidak dapat menjadi wali laki-laki yang mencampuri ibunya tersebut.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline