Al-shulhu dalam hak waris menurut fiqh wahbah al-zuhaili berpendapat bahwa al-shulhu dalam bahasa Arab berarti putus pertengkaran. Sedangkan dalam pengertian syara' (undang-undang) shulhu adalah satu perjanjian yang dibuat untuk menyelesaikan suatu perselisihan.
Pembahasan mengenai pembagian hak waris dengan cara shulhu berhubungan erat dengan macam-macam hak. Karena permasalahan hak ada yang bisa diselesaikan dengan perdamaian dan ada yang tidak bisa diselesaikan dengan perdamaian. Dalam kajian hukum Islam hak terbagi dalam beberapa kategori yang berasal dari dua kategori umum yaitu;
1. Hak Allah yang disebut juga dengan hak umum adalah hak yang apabila dilanggar akan merusak hubungan seseorang dengan Allah atau hubungannya dengan orang lain dan bisa merusak stabilitas ketenteraman orang banyak.
2. Hak hamba atau hak perorangan adalah hak-hak yang apabila dilanggar akan merugikan diri perorangan yang bersangkutan.
Pada prinsipnya semua hukum yang diturunkan oleh Allah adalah hak Allah dalam arti wajib dilakukan. Adanya pemisahan kategori dalam rangka agar dapat membedakan antara hukum yang penyelesaiannya terdapat jalan alternatif dan hukum yang cara penyelesaiannya tidak terdapat jalan alternatif, dengan kata lain harus mengikuti ketentuan hukum yang sudah ada dalam nash.
Dalam masalah kewarisan timbul pertanyaan, apakah hak seseorang untuk mewarisi ahli warisnya yang meninggal termasuk kategori hak Allah atau hak hamba?
Menurut pendapat Muhammad Abu Zahrah dalam bukunya ushul fiqh beliau menegaskan bahwa hak seseorang untuk mewarisi harta peninggalan ahli warisnya yang meninggal dunia termasuk dalam kategori hak hamba atau hak perorangan secara murni. Berdasarkan keterangan Abu Zahrah tersebut, pembagian harta warisan apabila setiap ahli waris rela membaginya dengan cara kekeluargaan atau perdamaian sesuai dengan kesepakatan setiap pihak yang terkait. Hal ini tentunya sah saja dilakukan apabila ada persetujuan antara ahli waris yang merelakan atau menggugurkan haknya dalam pembagian harta warisannya untuk diserahkan kepada ahli waris yang lain.
Namun secara normatif pembagian warisan hanya bisa dilakukan sesuai dengan ketentuan yang sudah jelas yang ada di dalam Alquran dan sunah, menurut para ulama juga sepakat bahwa ketentuan yang ada dalam nash tersebut termasuk ayat-ayat dan sunah yang menunjukkan petunjuk yang pasti atau dalalah qath'i.
Pembagian warisan dengan shulhu dapat dilakukan dalam keadaan tertentu. Artinya, apabila di dalam kenyataan ahli waris yang menerima bagiannya lebih besar secara ekonominya telah berkecukupan dan di sisi lain terdapat ahli waris lainnya yang menerima bagian lebih sedikit dan dalam keadaan ekonomi yang kekurangan, maka pembagian warisan di antara ahli waris tersebut dapat dilakukan dengan cara shulhu atau bermufakat untuk melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan tersebut.
Dengan cara ini, memungkinkan adanya upaya mengurangi kesenjangan ekonomi antara ahli waris yang satu dengan ahli waris yang lainnya, sebab kesenjangan ekonomi dapat memicu timbulnya konflik di antara ahli waris.
Dalam hal ini Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga mengakomodasikan sistem pembagian warisan dengan cara damai atau shulhu dalam pasal 183 yang menyatakan bahwa "Para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan setelah masing-masing menerima bagiannya". Namun, praktik pembagian harta warisan secara kekeluargaan itu harus pula memenuhi syarat-syarat. Syarat-syarat pentingnya antara lain adalah: