Lihat ke Halaman Asli

Ada Adu Kekuatan di Angkasa

Diperbarui: 17 Juni 2015   11:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kebijakan Open Sky dilatarbelakangi lahirnya MoC antara Amerika Serikat dan Belanda, pada 4 September 1992. Pada 2015, aturan sejenis bakal diberlakukan di Asean.

*****

Prinsipnya,kebijakan Open Sky adalah kesepakatan demi menciptakan pasar terbuka di antara kedua negara untuk memberikan peluang yang lebih besar bagi perusahaan penerbangan masing-masing negara dalam menawarkan dan mengoperasikan layanan penerbangan  kepada publik.

Kebijakan tersebut bertolak dari keinginan agar untuk tidak lagi ikut campur tangan dalam bisnis penerbangan dan mengurangi regulasi di bidang tersebut, kecuali yang berkaitan dengan safety dan security.

Sejumlah hal yangdiperjanjikandalam Open Sky, antara lain, persaingan pasar bebas dimana tidak ada pembatasan dalam menentukan rute, jumlah perusahaan penerbangan yang ditunjuk, frekuensi, dan tipe pesawat.

Lewat perjanjian tersebut, diharapkan tercipta kesempatan yang sama untuk melakukan usaha dengan harga yang ditentukan oleh kekuatan pasar. Selain itu terujud pula kebebasan untuk mengatur penerbangan carter.

Berangkat dari pemberlakuan kebijakan itu, ada kekhawatiran bahwa pasar penerbangan domestik akan dikuasai asing. Diketahui, Indonesia memang akan menjadi sasaran empuk masakapai-maskapai penerbangan negara lain di ASEAN, mengingat Indonesia merupakan pasar  terbesar yang sangat potensial.

"Indonesia adalah kue yang paling seksi. Kita market yang paling besar," kata pengamat penerbangan Universitas Gajah Mada Arista Atmadjati, pekan lalu.

Pendapat senada disampaikan maskapai nasional yang tergabung di Indonesia National Air Carriers Association (INACA). Ketua Umum INACA Arif Wibowo menerangkan, 50% dari penerbangan internasional antarnegara Asia Tenggara selalu melibatkan Indonesia.

"Kita yang punya lumbung atau resources-nya. Di ASEAN size of market-nya kan 66 juta, itu tahun 2012. Dari situ, 32 juta atau hampir 50% adalah semua titik yang terkoneksi dengan Indonesia," jelasnya.

BARU DUA MASKAPAI

Namun, masalah membelit dunia penerbangan nasional masih amat beragam. Jika sebelumnya dibahas tentang kesiapan infrastruktur yang masih jauh dari sempurna, kini seperti diungkapkan Samudra Sukardi, Consultant Partner dari CSE Aviation, kondisi maskapai dalam negeri pun masih menjadi kendala.

Berdasarkan rilis dari CSE Aviation yang diterbitkan per Desember 2013, hanya terdapat dua raksasa pangsa pasar industri penerbangan nasional, yakni Lion Air dan Garuda Indonesia. Lion Air menempati peringkat teratas dengan pangsa sebesar 42 persen. Sementara itu, Garuda Indonesia yang merupakan maskapai pelat merah hanya mengamankan ceruk pasar 22 persen.

“Adapun sisanya diambil Sriwijaya Air 10 persen, Wings Air 6 persen, dan Air Asia 4 persen. Sementara itu, 54 maskapai kecil lainnya harus membagi kue industri penerbangan yang hanya 14 persen,” kata Sukardi, saat itu.

Pada September 2013, dua maskapai lokal tersebut untuk pertama kalinya tercatat sebagai operator terbesar di Asia Tenggara berdasarkan jumlah armada. Garuda dan Lion bahkan mengalahkan Grup SIA dan Grup AirAsia, dengan jumlah armada masing-masing lebih dari 100 unit.

Di Asia Tenggara, kompetitor Garuda dan Lion Air hanya Singapore Airlines (SIA) yang memiliki lebih dari 100 pesawat. Tapi armada SIA itu diprediksi akan menyusut menjadi 101 pesawat selama beberapa bulan ke depan, sementara maskapai nasional diproyeksikan terus berkembang.

"Mencapai tonggak 100-pesawat merupakan prestasi yang signifikan bagi Garuda dan Lion," tulis CAPA, Center For Aviation, ketika itu, yang merupakan penyedia jasa analisis dan layanan data pasar penerbangan independen.

Saat analisis dilakukan, di bawah Garuda dan Lion Air juga tercatat sejumlah nama operator penerbangan besar lainnya di wilayah Asia Tenggara. Yakni, Malaysia Airlines (MAS) dan Thai Airways, yang mengoperasikan lebih dari 90 pesawat.

Persoalannya, kini di atas kertas memang hanya pada dua maskapai teratas itulah Indonesia akan bersandar manakala era keterbukaan wilayah udara negara-negara Asia Tenggara di 2015 tiba. Dua maskapai itu, kembali menurut Sukardi, diharap mampu berbicara banyak di level regional.

“Untuk menghadapi era liberalisasi udara itu tak cukup dengan menyerahkannya pada keadaan yang ada sekarang. Terlebih lagi terdapat kekhawatiran bahwa maskapai dalam negeri belum mampu mengimbangi desakan pasar maskapai asing,” katanya.

Menurutnya, maskapai dalam negeri harus memunculkan sebuah barrier to entry, sehingga maskapai dari luar tidak dengan mudah memasuki persaingan penerbangan nasional.

“Maskapai dalam negeri dengan bantuan regulasi dan strategi yang diciptakan pemerintah setidaknya akan mampu mengerek level persaingan. Seperti di Amerika, karena persaingannya ketat, dari luar sulit masuk,” ujarnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline