Di balik jendela kedai kopi, rembulan pasrah pada pelukan awan kelabu, disembunyikan wajah ayu sebab ia tahu bahwa bumi rindu rinai hujan. Lagi-lagi malamku bertamukan air langit, bagiku hujan malam hari selalu istimewa, padanya ku tunjukkan sisi terlemah seorang bujang minang, dihadapannya duka abadi semakin kental.
Berbicara mengenai hujan, benakku meneriakkan satu nama, Datuk Basa, adik nenek sekaligus guru ngaji di Surau Hitam. Kepada Arul usia tujuh tahun, beliau berpesan " Belajarlah pada keluarbiasaan hujan, dengan ikhlas jatuh dari ketinggian dan dilahap bagian terdalam bumi, tetapi ia tetap bangkit dan kembali ke langit, walau ia tahu akan jatuh lagi."
Begitulah datuk, berpedoman pada pepatah Alam Takambang jadi Guru, baginya alam adalah guru besar. Pernah, saat Arul remaja enggan kuliah di pulau Jawa, datuk berucap " Bujang, lihatlah pohon kelapa itu! Gagah dan tinggi menjulang. Buah, batok, sabut, kayu, sampai akarnya memberikan manfaat. Waang tau kenapa? Karena ia tidak pemilih, di manapun ia diletakkan, ia pasti hidup, itulah mengapa kelapa menjadi tumbuhan yang bermanfaat, sebab kelapa selalu tabah, ikhlas dan berkerelaan dan waang harus begitu, untuk menjadi orang yang bermanfaat, tumbuhlah di manapun, bagaimanapun lingkungannya, besarlah di sana, membumi, menjadi bujang minang kebanggaanku."
Batinku memberontak, mengapa ingatan akan ranah minang masih meremukkan jantung? Tidak cukupkah lima tahun yang penuh sesak mengobati patah hati seorang bujang taat, Ararul Chaniago? Aahh, perlahan aku menutup bola mata, merelakan angin malam menerbangkan gusar jiwa, mengikhlaskan hujan malam hari menikmati ketidakberdayaan seorang pria berumur tiga puluhan.
menatap sekeliling, bersamanya aku berbagi cerita masa, baik masa kanak-kanak, masa remaja, sampai masa penuh perjuangan dahulu. Ya, aku kebingungan menanggung luka sendirian.
Pada siapa akan dibagi? Harus dibawa ke mana penderitaan ini? Terkadang aku ingin mengulang kisah kecilku, menjadi Arul tanpa beban, kembali menjadi si patuh Arul.
Perlahan, aku meneguk kopi hitam tanpa gula kesukaanku, ingatan akan ranah minang kembali berputar. Di ranah minang ada istilah Babaliak Ka Surau atau Kembali ke surau. Mulai dari anak-anak kecil sampai remaja diantarkan oleh orang tua mereka ke surau, tidakk lupa dititipkan sebuah rotan untuk memukul si anak bila berbuat nakal atau tidak patuh pada guru. Bagi masyarakat minang pendidikan sangat penting dan sacral. Guru adalah orang yang diberi kepercayaan untuk membentuk karakter anak. Menyediakan rotan berarti menitipkan kasih sayang dan kerelaan orang tua, agar anak-anaknya dapat menebar manfaat. Di surau diajarkan membaca Al-Quran, menghafal ayat pendek dan do'a-do'a, serta diberi nasihat tentang kehidupan. Setelah Shalat Isya, murid perempuan dipersilahkan pulang ke rumah sementara murid laki-laki tetap di surau untuk belajar bela diri silat. Khusus malam Minggu, murid laki-laki akan tidur di surau, setelah subuh barulah kembali ke rumah, membantu amak dan apak di ladang atau sekedar bermain layangan di pematang sawah.
Sejujurnya, aku ingin kembali ke rumah, menemui buah hati yang sedang menunggu, namun aku tidak sanggup melihat wajah mungilnya, manusia itu sudah ku seret dalam hidup yang penuh kutukan. Beberpa detik kemudian, seorang pria berperawakan tegap duduk di depanku. "Assalamualaikum! Kenapa murung begitu? Sudah seperti benang kusut wajahmu!" ledek Rudi, pria yang langsung menepuk pundakku, seolah ingin menguatkan si pecundang. Aku hanya mengangguk sambil beriya kecil, bahkan suara tetes hujan yang mulai reda lebih keras dari pada suaraku. Kecanggungan mulai menguasai pembicaraan anatar teman lama yang sudah lima tahun tidak pernah bertemu. Dari mata Rudi, pasti ada yang hendak ia bicarakan, hanya saja dia masih sama seperti dulu, ragu-ragu. Ya, Rudi sering dilanda keraguan yang besar, bahkan saat acara khitanan, dia sangat ragu untuk menceburkan diri ke sungai. Di Minang, setiap anak yang akan dikhitan akan diarak keliling kampung lalu diantarkan mandi ke sungai seharian. Hal tersebut bermaksud agar tubuh si anak kedinginan dan tidak sakit ketika dikhitan. Dulu, kami tidak mengenal obat bius, semuanya serba alamiah. Masa itu, hanya aku dari sepuluh anak yang berani masuk ke sungai, dari awal sudah ku katakan kalau Ararul Chaniago adalah bujang minang taat, patuh pada semua aturan adat dan nasehat datuk. Berbeda dengan pria yang duduk di depanku ini, ketika delapan anak lainnya sudah meceburkan diri, Rudi masih berdiri dengan keraguan untuk melompat. Ia berdiri, mengambil ancang-ancang, duduk lagi. Berdiri, duduk lagi, sampai Mak Ipen, bapak Rudi geram hingga menceburkan dia secara paksa. Masa yang amat aku rindukan, apa kabar Batu Kambing? Nama sungai tempat kami mandi sebelum khitanan. Apakah anak-anak desaku masih sering mandi di sana? Apakah aliran airnya masih sejernih dulu, saat aku belum meninggalkan kampung halaman dengan tidak terhormat?
"Arul, dunia ini telah banyak berubah bukan?" Rudi tersenyum lebar. Lagi-lagi aku mengangguk kaku sambil menatap Rudi.
"Mungkin dunia berubah Rud, tapi tidak dengan Arul." Ucapku sambil meneguk kopi yang hampir habis. Rudi lagi-lagi tersenyum, ia mengelus pundakku.
"Pulang, Rul."