Lihat ke Halaman Asli

AFTA dan NTB (Non Tariff Barrier)

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Dalam menyambut ASEAN Free Trade Area (AFTA) 2015 yang hanya tinggal menunggu hitungan bulan, ada perasaan harap-harap cemas bagi seluruh rakyat Indonesia. Satu sisi dengan diberlakukan-nya AFTA maka pasar untuk produk-produk Indonesia semakin luas, namun di sisi lain serangan produk luar negeri akan membanjiri pasar domestik. Pemerintah tidak lagi dapat membendung masuknya produk-produk asing dengan menggunakan penerapan Bea masuk, sehingga harga produk import yang masuk ke dalam pasar Indonesia akan sangat kompetitif bahkan bisa jadi lebih murah.

Bila industri di dalam negeri dapat melakukan proses produksi dengan efektif dan efisien serta menghasilkan produk dengan kualitas tinggi, maka berlakunya AFTA merupakan anugerah. Namun di sisi lain, berlakunya AFTA akan merontokkan industri yang tidak efektif dan efisien, belum lagi bila dihitung dengan biaya transportasi yang sangat besar. Industri dengan karakter tersebut tidak akan dapat bersaing dengan produk-produk impor.

Oleh karena itu, maka untuk melindungi industri dalam negeri dan tentu saja untuk melindungi para konsumen, perlu dilakukan berbagai macam cara yang pelaksanaannya dapat dipimpin oleh pemerintah. Strategi tersebut berupa Non tariff Barrier (NTB). Artinya adalah aturan-aturan non tarif yang mampu menghambat masuknya produk asing ke dalam pasar domestik. Hambatan-hambatan tersebut berupa persyaratan-persyaratan teknis yang harus dipenuhi oleh suatu produk sebelum memasuki pasar Indonesia. Pada kesempatan kali ini, ada 3 aspek yang ingin saya bahas yaitu SNI, Kemasan dan bahasa.

Standar Nasional Indonesia atau disebut dengan SNI adalah suatu standar yang dibuat oleh pemerintah Indonesia sebagai persyaratan teknis suatu produk dapat beredar di dalam negeri. Penerapan aturan ini dapat melindungi konsumen dari masuknya produk-produk berkualitas rendah. Penerapan SNI dapat juga melindungi industri dalam negeri karena dalam standar bisa dibuat suatu spesifikasi khusus yang dapat diterapkan industri dalam negeri namun sulit diterapkan oleh industri di luar negeri.

Kemasan juga dapat digunakan sebagai strategi untuk menghambat masuknya produk impor. Produk yang beredar di pasar Indonesia harus memiliki bentuk dan pelabelan tertentu. Pemerintah dan industri dalam negeri dapat berdiskusi tentang bentuk label yang dapat dibuat di dalam negeri namun sulit dibuat di luar negeri. Dapat mencontoh Australia dengan menerapkan kemasan polos untuk produk rokok.

Dan yang ketiga adalah kewajiban untuk menggunakan bahasa Indonesia bagi orang yang menjalankan bisnis-nya/bekerja di Indonesia. Seperti halnya IELTS,TOEFL, TOEIC, dan juga sertifikasi-sertifikasi bahasa untuk dapat bekerja di negara-negara tertentu. Sudah saatnya pemerintah menjadikan kemampuan Bahasa Indonesia sebagai persyaratan wajib bagi tenaga kerja asing yang bekerja di Indonesia. Hal ini dapat juga menjadi peluang usaha berupa lembaga-lembaga belajar baru yang khusus untuk mempersiapkan muridnya mendapatkan sertifikasi Bahasa Indonesia.

Tentu saja cara yang paling efektif untuk menghadapi AFTA adalah peningkatan kompetensi diri, namun bila itu belum dapat dilakukan, ya setidaknya dengan memberlakukan NTB secara lebih ketat maka produk-produk dalam negeri tetap dapat menjadi raja di negeri Sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline