Mengingat Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo dalam waktu dekat akan pensiun, Presiden Joko Widodo hendaknya mulai memikirkan nama-nama atau kandidat yang akan menggantikannya. Beberapa alasan kenapa Presiden Jokowi harus memikirkannya dari jauh-jauh hari.
Memang untuk memilih Panglima TNI adalah hak prerogatif presiden. Akan tetapi, dengan mengajukan jauh-jauh hari, DPR dan publik, serta institusi TNI itu sendiri dapat berjalan dengan lancar, karena adanya masukan dari berbagai pihak. Sehingga sesuai dengan target dan berjalan maksimal mengingat tahun depan sudah memasuki tahun politik.
Berbicara mengenai tahun politik, TNI sangat diperlukan untuk menjaga keamanan dan kenyamanan selama berlangsungnya pesta demokrasi. Selain itu, TNI sendiri juga harus mampu menjaga netralitas dan profesionalisme militer. Jika nantinya institusi tersebut tidak mampu menjalankan tugasnya dengan maksimal karena kurang cekatannya presiden dalam menentukan pengganti Panglima TNI, kisruh pada tahun politik bukan tidak mungkin berlangsung chaos.
Transisi sangat diperlukan dalam sebuah institusi atau lembaga. Dengan naiknya Panglima TNI yang baru, otomatis juga berdampak pada struktur di bawahnya. Dengan waktu yang sangat mepet menuju tahun politik, alangkah baiknya Presiden Jokowi sudah mengajukan nama dari sekarang, sehingga transisi dapat berjalan mulus dan setiap sektor mampu bekerja maksimal. Terlebih sekarang sudah bulan November atau akhir tahun 2017.
Jika dikaji kembali, dengan cepatnya presiden mengajukan kandidat, DPR punya waktu banyak untuk memberi pertimbangan. Terlebih sebelum masa reses, DPR setidaknya punya waktu untuk menilai dan tidak disibukkan dengan urusan lain.
Selain itu, dengan pengajuan nama dari sekarang, publik dapat memberikannya pendapatnya dan bisa menjadi masukan dari presiden. Jangan sampai ketika pemilihan panglima nantinya kembali terjadi kisruh di ruang publik. Jadi, masalah kembali muncul ke permukaan.
Dalam memilih Panglima TNI seharusnya dalam prosesnya menyertakan Pasal 12 ayat 4 UU TNI, yang menyatakan bahwa jabatan Panglima TNI dapat dijabat secara bergantian oleh Perwira Tinggi aktif dari tiap-tiap Angkatan yang sedang atau pernah menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan. Artinya, jika melihat Panglima TNI saat ini yang berlatarbelakang Angkatan Darat, maka posisi Panglima TNI berikutnya harus dirotasi kepada Angkatan Udara (AU) atau Angkatan Laut (AL).
Berkaca dari pengalaman Jenderal Gatot belakangan ini yang sering dikaitkan dengan manuver politik, seharusnya harus menjadi acuan Presiden Jokowi dalam memilih setiap kandidat Panglima TNI baru. Ini juga harus menjadi momentum bagi TNI untuk membangun institusi yang professional, yakni tidak berpolitik, memiliki kompetensi dalam bidangnya dan tunduk pada perintah otoritas sipil.
Setiap kandidat Panglima TNI yang baru harus diperhatikan apakah mereka mampu membangun sektor pertahanan Indonesia yang kuat dan modern ke depan serta melanjutkan agenda reformasi sektor keamanan yang selaras dengan visi pemerintah. Selain itu, juga mampu meningkatkan transparasni dan akuntabilitas pengelolaan anggaran militer, khususnya dalam pengadaan Alutsista.
Kesigapan dan kecermatan Presiden Jokowi sangat dibutuhkan dalam memilih calon Panglima TNI. Tentu kita mempunyai harapan besar, di mana TNI mampu tampil di hadapan publik dengan segudang prestasi, serta mampu menjaga profesionalisme dan netralisme militer. Semoga saja. Sekian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H