Aku tak pernah menyangka hari itu akan menjadi titik balik hidupku. Di tengah hiruk-pikuk kota, dengan bising kendaraan yang terus mengalir seperti sungai tak berujung, aku berdiri mematung di depan sebuah kedai kopi tua. Hujan turun dengan deras, menciptakan tirai air yang hampir membuatku tak percaya pada apa yang kulihat di seberang jalan.
Di sana, di balik jendela yang buram, kulihat dia---cinta pertamaku. Ia duduk sendirian, memegang secangkir kopi dengan kedua tangan, matanya menatap kosong ke luar, ke arahku. Jantungku berdetak lebih cepat, menciptakan irama yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Aku tak bisa mengalihkan pandanganku darinya, seolah ada magnet yang menarikku untuk mendekat, untuk masuk ke dalam kedai itu dan menghampirinya.
Aku ingat hari itu seperti baru kemarin. Saat pertama kali bertemu dengannya di sekolah menengah. Ia adalah gadis paling ceria yang pernah kutemui, dengan senyum yang bisa menerangi seluruh ruangan. Namanya Alia. Dan aku, tak butuh waktu lama untuk jatuh hati padanya.
Aku memberanikan diri melangkah masuk. Bel pintu kedai berbunyi nyaring, menarik perhatian beberapa orang, tapi tidak dirinya. Ia tetap diam, terperangkap dalam pikirannya sendiri. Aku ragu untuk menghampiri, tetapi sesuatu di dalam diriku memaksa langkahku terus maju.
"Alia," suaraku terdengar serak dan hampir tak percaya.
Ia menoleh perlahan, seolah namanya diucapkan dari tempat yang jauh. Matanya, yang dulu bersinar cerah, kini terlihat redup dan lelah. Tapi begitu ia mengenaliku, ada secercah cahaya di sana, yang membuatku kembali ke masa-masa dulu, masa ketika segalanya tampak sederhana.
"Bagas?" Ia terdengar tak yakin.
"Ya, ini aku," jawabku sambil duduk di depannya. Jarak beberapa tahun tak membuat kami asing, tetapi ada rasa canggung yang menggantung di antara kami.
Kami mulai berbincang, tentang masa lalu, tentang betapa berbedanya hidup sekarang. Dia bercerita tentang pekerjaannya, tentang bagaimana ia berjuang keras untuk mencapai semua yang diinginkannya. Dan aku, aku hanya mendengarkan, terpaku pada setiap kata yang keluar dari bibirnya. Rasanya seperti mimpi, bisa bertemu lagi dengannya setelah sekian lama.
"Bagaimana denganmu, Bagas? Apa yang kamu lakukan sekarang?" tanyanya dengan nada penuh perhatian.
"Aku? Aku hanya menjalani hidup seperti biasa," jawabku sambil tersenyum getir. Bagaimana aku bisa menjelaskan bahwa selama bertahun-tahun ini, aku selalu memikirkannya? Bahwa tak ada satu hari pun berlalu tanpa bayangan wajahnya melintas di benakku?