Disabilitas mungkin merupakan hal yang tidak asing buat beberapa orang. Sejak ASEAN Para Games yang diadakan di Jakarta tahun 2018 lalu, sepertinya makin banyak orang yang mulai membuka mata akan keberadaan orang-orang dengan disabilitas. Namun, taukah Anda, bahwa ternyata keberadaan mereka masih suka dipandang sebelah mata bagi kita yang lahir tanpa disabilitas. Mau tau buktinya ?
1.Masih ada yang mengatakan mereka sebagai penyandang cacat atau orang cacat.
Tidak salah, jika mungkin kita lebih akrab menyapa orang dengan disabilitas dengan istilah penyandang cacat. Istilah ini mengacu pada Undang-undang negara Republik Indonesia nomor 4 tahun 1997 yang masih menggunakan istilah "Penyandang Cacat" untuk mereka yang mempunyai kelainan fisik dan atau mental yang dapat mengganggu melakukan aktivitas secara selayaknya. Namun, sejak tahun 2011 istilah Penyandang Cacat sudah tidak lagi digunakan. Dalam Undang-undang Republik Indonesia no 9 tahun 2011, digunakan istilah baru yaitu "Persons with Disabilities" atau Penyandang Disabilitas. Istilah ini kemudian lebih diperjelas dalam UU 8 Tahun 2016 tentang Disabilitas, disebutkan bahwa Penyandang Disabilitas adalah setiap orang yang memiliki keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan atau kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.
Lalu apa bedanya dengan Difabel ? Jelas beda ! Difabel berasal dari kata dalam bahasa Inggris Different Ability atau kemampuan yang berbeda, sementara kata Disabilitas juga diambil dari bahasa Inggri yang berasal dari kata Dis dan Abilities, yang artinya ketidak mampuan. Adhika Duta Bahari, ahli bahasa dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) mengatakan istilah yang tepat untuk dipakai adalah disabilitas. Ditinjau dari segi sosial, penggunaan istilah difabel mungkin lebih tepat karena terasa lebih humanis, namun cenderung kurang menggambarkan kejelasan makna (ditinjau dari segi bahasa dan keilmuan). "Ketika didefinisikan difabel itu kemampuan yang berbeda, berbedanya itu dalam hal apa?" jelas Andhika. Untuk itu, cara yang lebih tepat menggunakan istilah disabilitas dan difabel adalah disesuaikan dengan situasi atau lingkungan. Jika berada dalam konteks kaidah bahasa atau keilmuan, istilah disabilitas lebih tepat digunakan. Namun, jika dalam konteks kehidupan sehari-hari istilah difabel lebih tepat.
Jadi, mulai sekarang jangan lagi menggunakan istilah Penyandang Cacat ya ?!
2.Masih banyak fasilitas umum yang dibuat tidak dengan pertimbangan mereka dengan disabilitas sebagai pengguna.
Anda pernah tidak memperhatikan ? Trotoar di jalanan, kadang ada jalur tegel kuning (Guiding Block), kadang tidak. Atau pernah kan lihat gambar-gambar yang menunjukkan tegel kuning yang dibuat di tengah trotoar tiba-tiba terputus di pinggiran lubang air. Anda tau nggak bahwa tegel warna kuning itu adalah tegel khusus untuk mereka dengan disabilitas Netra? Tegel kuning itu khusus dibuat sebagai pengarah jalan bagi mereka yang mengandalkan tongkat sebagai alat bantu berjalan. Kebayang nggak sih, kalau mereka bener-bener tidak tau jalanan di situ, lalu percaya 100 persen dengan arah tegel lalu masuk ke dalam lubang air ? Duh. Itu adalah salah satu contoh, dimana kadang fasilitas umun dibuat tanpa mempertimbangkan orang dengan disabilitas sebagai pengguna. Contoh lain adalah halte-halte Bus Trans. Coba deh perhatikan ! Kadang, saya sebagai pengguna umum saja sering merasa kelelahan meniti tangga yang lumayan curam untuk bisa mencapai halte Bus. Terutama pada halte bus yang letaknya di tengah jalan besar. Lucunya, kenapa Halte Bus itu sengaja dibuat di tengah ya? Apa bedanya kalau dibuat di sebelah kiri jalan, yang notabene lebih mudah diakses tanpa harus melalui tangga-tangga curam atau jalanan besi yang kadang licin ?!
3.Masih banyak yang merusak fasilitas yang disediakan bagi mereka dengan disabilitas.
Ini isu yang tidak hanya dirasakan oleh mereka dengan disabilitas, kita pun sebagai pengguna fasilitas umum sering dirugikan oleh perilaku tidak bertanggung jawab perusak fasilitas umum. Contohnya ? Baut-baut di jembatan suramadu yang raib di ambil warga tidak bertanggung jawab. Atau bagaimana kita berjibaku setiap hari berebut hak penggunaan trotoar dengan pedangan kaki lima dan pedagang asongan. Coba kita instrospeksi diri juga, kalau di angkutan umum kita sering memanfaatkan kursi prioritas bagi penyandang disabilitas tidak? Terutama kalau jalanan macet, badan lelah setelah pulang kerja, saya sering kali tergoda menggunakan fasilitas ini.
Padahal, fasilitas bagi penyandang disabilitas disediakan negara bertujuan untuk mempermudah kegiatan mereka sehari-hari karena mereka juga mendapatkan hak yang sama dengan masyarakat lainnya. Artinya, ketika pemerintah membangun trotoar dengan guiding block kuning itu, pemerintah menyediakan fasilitas umum untuk semua warga negaranya tanpa terkecuali. Dengan membangun warung di sepanjang totoar, menunjukkan seolah-olah hanya pedang kaki limalah yang berhak menggunakan fasilitas umum tersebut dan menghilangkan hak orang lain yang juga ingin menggunakan trotoar sebagai fasilitas umum.
4.Masih belum bisa membedakan kursi roda untuk orang sakit dan kursi roda untuk mereka dengan keterbatasan gerak.
Pada suatu forum diskusi dengan penyandang disabilitas, seorang ibu pernah bercerita, bahwa ada seorang pendonor yang terpaksa ditolak kebaikan hatinya karena ia salah membelikan kursi roda. Kursi roda yang dibeli ternyata adalah kursi roda yang umum ada di rumah sakit. Kursi roda tersebut ternyata tidak bisa dipakai oleh mereka yang memiliki disabilitas gerak. Kursi roda yang umum ada di rumah sakit memiliki jarak yang cukup jauh antara roda dan sandaran tangan, yang akan membuat orang dengan disabilitas gerak menjadi kesulitan mengayuh rodanya. Padahal, fungsi kursi roda adalah sebagai alat bantu gerak yang memudahkan mereka beraktivitas. Orang dengan disabilitas gerak membutuhkan kursi roda yang jarak roda dengan sandaran tangan yang dekat, ini yang disebut kursi roda aktif. Dimana mereka dapat dengan mudah mengayuh roda sehingga mereka lebih leluasa beraktivitas.
5.Masih banyak yang merasa kasihan dengan mereka dengan disabilitas.
Dulu, mungkin kita akan lebih sering bertemu mereka dengan disabilitas di panti-panti atau rumah khusus atau sekolah luar biasa. Namun, sekarang banyak dari mereka dengan disabilitas yang berani muncul dengan berbagai macam prestasi. Misalnya Surya Sahetapy, putra penyanyi Dewi Yul dan Ray Sahetapy, yang pada tahun 2018 lalu menjadi presenter di Opening Ceremony Asian Para Games 2018 bersama Reza Rahardian. Selain itu, Surya juga kerap menjadi delegasi tuli Indonesia di berbagai konferensi tuli internasional sampai menjadi perwakilan ke PBB dan NASA lho ! Selain itu ada juga Dimas Prasetyo, yang memiliki prestasi luar biasa di bidang bulutangkis. Dalam Special Olympics World Games tahun 2015 di Los Angeles, Dimas mampu membawa pulang 3 medali emas dari cabang bulutangkis mewakili Indonesia. Tentu masih banyak nama-nama lain yang meskipun hidup dengan disabilitas, namun mereka tidak terbatas.
Dahulu saya, karena terbatasnya pengetahuan, informasi dan pengalaman, sering kali merasa kasihan kepada mereka penyandang disabilitas. Waktu itu saya berfikir betapa tidak berdayanya mereka yang memiliki keterbatasan penglihatan, tidak bisa membaca, tidak bisa menggunakan smartphone, tidak bisa melihat pemandangan indah waktu travelling dan lain sebagainya. Namun pendapat saya ini ternyata salah. Mereka bisa tetap menikmati itu semua dengan caranya masing-masing. Tidak berarti, mereka dengan disabilitas tidak bisa menikmati hidup. Mereka mampu dan mereka bisa, dengan dukungan yang kita berikan. Ya, mereka tidak butuh rasa kasihan kita, namun dukungan dan kepedulian kita lebih berguna untuk mereka menikmati hidup dengan cara mereka masing-masing.