Lihat ke Halaman Asli

Mengarungi Samudra Gender dalam Tradisi Lokal

Diperbarui: 10 Juli 2017   08:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1. Naskah Sureq Galigo versi abad ke-19. Epos ini berkembang sebagian besar melalui tradisi lisan dan masih dinyanyikan pada acara-acara tradisional Bugis. Versi tertulisnya yang paling awal diawetkan pada abad ke-18, sementara versi-versi sebelumnya telah hilang akibat serangga, iklim, atau perusakan. Akibatnya, tak ada lagi versinya yang pasti dan lengkap. Namun bagian-bagian yang telah diawetkan pun sedikitnya ada 6.000 halaman folio atau 300.000 baris teks, dituliskan dalam aksara Bugis dalam bahasa adiluhung, membuat Sureq Galigo sebagai salah satu karya sastra terbesar dunia. Sumber gambar: WikiCommons.

Serupa ucap perempuan
Ada suatu masa ketika saya mempunyai seorang teman yang bagi saya, dan teman-teman saya lainnya, terasa ganjil. Ia seorang selebritis di lingkungan seni dan budaya, terutama di kalangan masyarakat kelas atas (crme de la crme). Penampilan sehari-harinya gagah, selalu berjalan tegak menengadah, dengan langkah cukup tegap, tatapannya pun tajam; tetapi saat bercakap-cakap muncullah sesekali gerakan tubuh yang tak sesuai dengan gendernya. Rumor di sekitar kami mengatakan dia gay, tapi saya dan juga beberapa teman lainnya yang dekat dengannya, tak pernah menyinggung hal itu di depannya. Kami seperti sepakat bahwa itu adalah urusan pribadinya, tak seharusnya kami mencampurinya. Kami berpura-pura tak tahu apa-apa, dan segala urusan sehari-hari berjalan baik-baik saja.

Tentu ada saja suatu waktu di mana dia tak ada, kami pun mempergunjingkannya. Melihat sosok teman-temannya yang sejenis, saya pernah merasani, "Kok tampilan mereka rata-rata seperti orang Yunani ya?" Yang sempat ditimpali oleh salah seorang teman, "Itu tidak salah, karena Yunani memang asal muasal homoseksual." Walau pernyataan ini terkesan menyederhanakan dan bisa diperdebatkan, saya tak memperpanjangnya.

Suatu sore, saya diajak oleh teman saya yang gayitu ke rumah salah seorang teman yang juga dikenal sebagai gay untuk suatu urusan bisnis. Itu menjadi saat pertama saya menyaksikan sendiri perubahan dramatis dari seseorang yang sehari-harinya berpenampilan lelaki tiba-tiba berucap serupa perempuan. Saya terkejut melihat teman saya yang beberapa menit sebelumnya masih berbicara dengan nada dan sikap pria, ketika berhadapan dengan sesama jenisnya bisa seperti lunglai dan sontak menjadi gemulai. Untuk sesaat saya tak lagi bisa mengenali teman saya itu. Seperti ada pribadi liyan yang tengah merasuki tubuhnya. Saya sangat syok!

Dan ketika untuk kedua kalinya saya diajak mengunjungi rumah temannya itu lagi, kali ini untuk suatu jamuan makan malam, serta merta saya menolaknya. Saya masih trauma dengan pengalaman yang lalu. Ia bersikeras, bahkan menjemput saya jelang acara dimulai. Saya tetap menolaknya. Pergi dengan setengah kesal dari rumah saya, rupanya ia berhasil mengajak teman lainnya, seorang bul yang berprofesi sebagai desainer lanskap. Keesokan harinya, ketika saya berjumpa dengan teman bul itu, ia menyatakan penyesalannya telah menghadiri acara itu. Ia menyatakan keterkejutan yang sama, dan bercerita betapa ia seperti terisolasi malam itu di kerumunan insan kemayu.

Menebar gulita
Puluhan tahun sesudahnya, pandangan masyarakat pada umumnya terhadap kaum LGBT ini belum juga banyak bergeser. Termasuk pandangan saya, hingga (berkat Robert Wilson)[i] saya boleh menyapa naskah sakral Sureq Galigo (yang dituliskan di abad ke-13--15)[ii], dan mengetahui sedikit mengenai keberadaan bissu[iii].

Kondisi nya terasa fluktuatif , meluas dan menyempit sepanjang jalan. Telah bertumbuh gerakan-gerakan moral mendukungnya, tapi penolakan terhadap eksistensi mereka juga semakin keras. Bahkan dari kalangan pejabat publik tingkat atas. Juga dari organisasi keagamaan, dan berbagai kelompok intoleran. Ada suatu masa di mana masyarakat bisa menerima kehadiran para selebritis laki-laki berpakaian perempuan di panggung komedi atau layar lebar. Tapi juga ada banyak masa-masa yang menunjukkan hal sebaliknya. Dunia kita ini telah begitu kaku mengatur pengelompokan jenis kelamin, ekspresi gender, identitas gender, dan orientasi seksual ke kategori serba biner: pria atau wanita, gay atau straight, dan sulit menerima perbedaan.

Komunitas LGBT bahkan sudah harus mengalami diskriminasi sejak kanak-kanak. Sekolah memiliki sejarah panjang dalam memperkuat persepsi biner tentang jenis kelamin siswanya. Bahkan sebelum anak-anak memasuki sekolah pertama kalinya, orang tua atau walinya diminta untuk mencentang di kotak 'pria atau wanita' pada formulir pendaftaran. Pada hari pertama sekolah, para guru mungkin akan memisahkan anak laki-laki dan perempuan di barisnya masing-masing. Toilet ditandai untuk anak laki-laki dan perempuan. Bayangkan menjadi seorang siswa transgender yang harus mengalami dehidrasi demi menghindari penggunaan kamar kecil untuk anak perempuan sepanjang hari, atau yang putus sekolah gara-gara dibombardir dengan pelecehan verbal atau fisik atas ekspresi orientasi seksualnya. Di mana-mana ada ekspektasi tentang permainan dan pakaian seperti apa yang tepat untuk siapa, tentang siapa yang secara alamiah memiliki sifat kasar dan sebaliknya. Seiring bertambahnya usia, mereka menjadi sasaran harapan atas kegiatan ekstrakurikulernya, gaya berpakaian, bahkan perguruan tinggi dan karier apa yang didorong untuk mereka raih setelah lulus.

Ketidaktahuan, ditambah dengan kurangnya informasi, pada sebagian besar orang bahwa mereka ini varian dari identitas yang default, berlangsung di mana-mana, dengan sangat sedikit pengecualian[iv]. Padahal, individu yang tinggal dengan nyaman di luar ekspektasi dan identitas pria/wanita yang khas, bisa ditemukan di berbagai belahan dunia. Calabai dan calalai di Sulawesi Selatan, two-spirit yang ditemukan di beberapa budaya pribumi Amerika, dan hijra di India, adalah beberapa di antaranya yang mewakili pemahaman gender yang lebih kompleks daripada model biner. Setidaknya tujuh negara termasuk Australia, Bangladesh, Jerman, India, Nepal, Selandia Baru, dan Pakistan mengakui eksistensi gender ketiga pada dokumen legalnya. Seiring orang-orang di seluruh dunia menggunakan beragam istilah untuk mengomunikasikan identitas gender mereka, Facebook kini menawarkan kepada para penggunanya 52 pilihan untuk menentukan jenis kelamin mereka.

Barulah matahari bersinar cerah

"Ia datang malam hari dan tak dapat ditangkap oleh lelaki atau perempuan tulen, hanya oleh waria." ---Puang Matoa Saidi, Bahasa Para Dewa (I La Galigo, 2011)

Sistem biner hanya mengakui adanya dua jenis gender, wanita (woman) dan pria (man); serta dua jenis kelamin biologis, perempuan (female) dan laki-laki (male). Tapi tradisi Bugis mengenal eksistensi lima jenis kelamin, yaitu: oroane (laki-laki); makunrai (perempuan); calalai (perempuan yang berpenampilan seperti layaknya laki-laki); calabai (laki-laki yang berpenampilan seperti layaknya perempuan); dan golongan bissu, perempuan atau laki-laki yang dianggap sebagai kombinasi dari semua jenis gender itu (no-gender). Dr. Gregory Acciaioli, antropolog Amerika Serikat yang mengajar di Universitas Western Australia, membayangkan sistem gender Bugis ini sebagai piramida, dengan bissu di puncak, dan laki-laki, perempuan, calalai, dan calabai di empat sudut dasar (Graham, 2007).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline