Upacara Adat Ngasa yang setiap satu tahun sekali diselenggarakan oleh masyarakat Jalawastu Desa Cisereuh Kecamatan Ketanggungan telah dikenal sampai ketingkat Nasional. Hal ini dikarenakan pada tahun 2015 silam Pemkab Brebes telah mementaskan seni tradisi ngasa ini di TMII (Taman Mini Indonesia Indah).
Setelah Pemerintah Kabupaten Brebes memperhatikan kesenian Ngasa tersebut, akhirnya banyak masyarakat yang penasaran dengan kesenian ini. Hingga tak ayal setiap tradisi ini diselenggarakan setiap Selasa Keliwon pada mangsa kesanga (Kesembilan dalam kalender Jawa) setiap tahunnya selalu ramai pengunjung. Upacara adat ini pun dalam penyelenggaraanya selalu di tempat khusus yaitu ditempat masyarakat sekitar memanjatkan do'a kepada Tuhan , tempat tersebutlah yang terkenal dengan nama pasarean gedong.
Banyak sekali masyarakat yang sangat penasaran dengan tradisi ini,karena faktanya penulis sendiripun baru mengetahui tradisi ini setelah tradisinya terkenal ramai di masyarakat. Penulis mencoba berkunjung langsung ke Kampung Jalawastu tersebut , namun sayang tak bisa menjumpai tradisi ngasa yang memang hanya di selenggarakan satu tahun sekali tersebut.
Ketika penulis masuk ke Jalawastu entah kenapa penulis langsung inget sama suku Badui di Banten Jawa Barat. Aura mistis dan bau minyak wangi sangat berbaur dengan udara sejuk nan asri. Terlebih di Jalawastupun tidak ada satupun rumah yang menggunakan semen, genting, apalagi keramik karena ternyata itu adalah pantangan.
Selain mengingatkan penulis pada suku badui, penulispun jadi ingat dengan Biksu Budha di Film Shoilin yang pantang memakan makanan yang bernyawa.
Masyarakat Jalawastu yang sangat ramah tersebutpun ternyata pantang memakan makanan yang bernyawa. Selain tidak boleh memakan makanan yang bernyawa ternyata merekapun memiliki pantangan tidak boleh menanam tanaman khas Brebes yaitu bawang merah, tanaman lain yang tidak boleh ditanam oleh masyarakat Jalawastu adalah kedelai.
Jika masyarakat pedesaan umumnya bertani dan beternak, namun ternyata di Jalawastu memelihara hewan ternak itu tidak boleh sembarangan. Karena ternyata kerbau, domba, dan angsa tidak boleh dipelihara di tempat ini.
Masyarakat adat Jalawastu percaya jika pantangan tersebut dilanggar maka akan terjadi bencana alam.
Menurut masyarakat sekitar upacara adat ngasa merupakan perwujudan syukur kepada Batara Windu Buana yang merupakan pencipta alam. Batara mempunyai utusan yang disebut Burian Panutus. Burian selama hidup tidak pernah menanak nasi, ia hanya makan jagung dan umbian. Iapun tidak pernah memakan makanan yang bernyawa. Semua itu dilakukannya sebagai bentuk penghambaannya kepada Batara.
Oleh karena itu saat upacara Adat Ngasa diselenggarakanpun baik masyarakat sekitar maupun pengunjung hanya akan medapat makanan perjamuan nasi jagung dan umbian, nasi dari beras adalah salah satu pantangan adat Jalawastu. Bahkan tempat nasinyapun tidak boleh menggunakan piring atau gelas yang terbuat dari kaca, karena kacapun adalah pantangan yang tidak boleh digunakan oleh masyarakat adat tersebut. Yang diperbolehkan hanyalah piring dan gelas yang terbuat dari seng, plastik, atau dedaunan.
Dalam upacara Ngasa akan ada beberapa kesenian lain yang menyertainya, yaitu seperti Perang Centong yang merupakan peperangan antara Gandawangi dan Gandasari yang menggambarkan keangkaramurkaan dan kebaikan.