Lihat ke Halaman Asli

Riwayat Kematian Bulan, di Laut Pasongsongan

Diperbarui: 25 Juni 2015   19:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Parenting. Sumber ilustrasi: Freepik

Awal; Lelaki di bawah pohon kelapa.

Rambutnya panjang, bertaring hitam dari kejauhan, dengan terunduk matanya menjuling ke arahku, perhatiannya cukup tajam menggegap langkahku, dari mana setapak ku buatkan sajak, dia menyergapku buatkan jejak, di punggungnya berakar belati.

Lelaki di bawah pohon kelapa, berkalung sorban, serupa sorban yang ku temukan di semak-semak dekat astah, dia berarak meludahi semua kelapa, buih keringatnya menjuntai ke atas di menatap yang kering menguning, hingga bulan bergeser ke arah kuburan, tempat dia menyalurkan rempah-rempah di kediaman mayat.

Ku coba petakan jejatuhan daun kelapa:

1/ sajak dari daun kelapa

matanya lihai menjuling orang, hampir aku ketakutan melihatnya, untung sedang ku tak lagi malam, kepada siapa lagi aku harus cari bulan, bulan sekarang sudah membatu, aku seakan lebih senang melihatnya, asin garam lebih serat di matanya, rambutnya tak kalah jauh dari rambutku, taringnya juga tak kalah legam dari hitam kepetangan malamku. "dia juga tak suka bulan, bulan sekarang hanya asyik di pandang, tak patut di renungkan"

2/ kepada siapa yang membacanya

Apa di bilang kata: Lihat, kau tatap langit ke atas, asap mengental dari arah kelamin orang, serakah alam, jangan salahkan jika tuhan lebih mendewasakan waktu dari pada manusianya, ombak di laut kehilangan binarnya, yang biasa ku sebut itu keindahan, dimana bintang berlarian menuju sukmanya, larian anak kecil sirna di atas kertas paasir, pasir yang memahatkan banyak cerita juga derita dalam gelak, kini di angkut, di batukan menjadi daging-daging istimewa, sudahlah tak mengharap hal itu, bulan sekarang menjadi tusukan atas kelamin, lebih asyik di mainkan kelamin, lebih renyah masakan bibir, bercumbu di bawah ketiak pohon rindang, jangan salahkan jika laut memuntahkan semua isinya.

3/ dari laut

Apa kata di bilang peristiwa: Tubuhku kehilangan waktu, waktu yang biasa aku menatap bulan dengan senyuman, senyuman tanpa kekeringan, waktu yang biasa basah di renungkan, endap di karang dadaku, atas dekapan sunyi yang di kertaskan para penyair, jangan salahkan jika di tengah tubuhku retak, retakan yang dekat dengan kemusnahan, bila jidatku bicara, semua tewas ku lidas tanpa batas. Kini bisa ku sebut banyaknya air sangat tidak lagi di butuhkan.

4/ dari penyair

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline