Tembakau Rugi, Mana Pemerintah?
Indonesia merupakan surga bagi para spesis tumbuhan. Lantaran, negri ini ada di garis tropis, maka sangat memungkinkan sekali segala jenis tumbuhan bisa tumbuh. Baik itu tumbuhan pokok seperti, padi dan jagung. Begitu juga tanaman non pokok sekalipun, yang tanpa harus mati kehabisan air.
Hal ini didukung dengan keadaan tanah yang sangat subur, kaya akan kandungan mineral yang sangat dibutuhkan oleh beberapa spesis tanamanan. Termasuk juga tanaman tembakau.
Di Indonesia. Kususnya di daerah Jember, yang namanya tanaman tembakau sering sekali kita jumpai diberbagai sudut pedesaan. Hal ini tidak bisa diejawantahkan lagi, lantaran kabupaten Jember merupakan salah satu Kabupaten pemasok tanaman tembakau terbanyak, bahkan samapi masuk ke kancah Internationa.
Torehan ini patut diajungkan jempol oleh Indonesia, karena Jember sudah mendongkrak penghasilan neraca negara. Namun, kenyataan ini tidak sebanding, hanya kebahagian semata serta tidak berimbang dengan keringat-keringat jerih payah rakya yang menanamnya.
Nyatanya, bulan-bulan ini penanam tembakau banyak yang mengeluhkan lantaran harga tembakau yang sangat anjelok, tidak seperti musim sebelumnya. Seperti pengakuan salah satu warga Jember. “Wah bagaimana ini tembakau kami tidak laku lagi dijual, mau dijual dimana saya bingung karena tidak ada tengkulak yang mau membeli, jika ada yang membeli itu sangat murah sekali” dikutip dari RRI Jember.
Bayangkan saja, harga tembakau di Kabupaten Jember hanya dikasih harga 50 sampai 100 ribu rupiah perkwintal. Berbanding terbalik pada tauhun sebelumnya. Tahun 2013 misalnya, yang dikasih harga 2,5 sampai 3 Juta rupiah perkwintal oleh pemasoknya.
Atas kejadian ini banyak masayarak yang menguluh atas kebijakan yang diambil oleh pemilik perusahan tembakau, tidak berbanding dengan jerih panyah mereka para petani. Apakah layak harga seperti diatas tersebut, para petani yang menanam. Mereka istikomah menyiraminya setiap pagi, agar tembakaunya cepat besar, dan kelak dibayar mahal oleh perusahaan demi kebutuhan sehari-harinya.
Sangat ironis sekali tata kala melihat kejadian realita-sosial. Ini merupakan kesalah pihah pemerintahan setempat yang tidak bisa menstabilkan harga tembakau, Pihak Eksekelutif dan Yudikatiflah yang tidak mau tau terkait hal tersebut, mereka hanya mementingkan kebutuhan dan biologis pribadinya.
Kedua, pihak pemerintahan tidak bertindak secara tegas, atas apa yang dilakukan oleh meereka-meraka para mafia (Pengusaha tembakau) yang melakukan penanaman secara ilegal. Mereka menanam lebih 20 persen dari 5.500 hektar.
Padahal, sesuai amanat Peraturan Daerah (Perda) nomor 7 tahun 2003 tentang perlindungan petani tambakau, pengusaha hanya diperbolehkan menanam sendiri tidak lebih dari 5 hektar. Itupun, harus disertai dengan izin dari Dinas terkait.