Lihat ke Halaman Asli

Kanzi Pratama A.N

Salam hangat.

Norm Entrepreneur: ASEAN Convention Against Trafficking in Persons

Diperbarui: 14 Februari 2024   07:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Migrasi bukanlah aliran utama yang banyak diperbincangkan di kawasan ASEAN. Tren migrasi menjadi isu utama di Eropa sejak 2015 karena menjadi tujuan utama para migran, di saat bersamaan Asia Tenggara telah mendeklarasikan konsep ketahanan integrasi ASEAN melalui ASEAN Convention Against Trafficking in Persons (ACTIP), khususnya dalam melihat arus transnasional manusia, perdagangan dan budaya material di kepulauan Indonesia, Semenanjung Malaysia dan Filipina (Pietsch, 2015). Demikian pergerakan kelompok orang  yang melintasi perbatasan negara untuk memperoleh kehidupan layak terus berkembang lebih besar. ASEAN harus terus bergerak untuk memajukan arus perdagangan dan investasi yang menguntungkan bagi 661.8 juta penduduknya (ASEAN, 2021). Jumlah migran teratur sebanyak 668.620 orang telah mendisrupsi proses integrasi ASEAN (UN Department of Economic and Social Affairs Population Division, 2020).

Untuk itu, perlu komitmen serius menanggapi kebutuhan migran secara lebih komprehensif dengan kebijakan yang terkoordinasi untuk keselamatan penduduk ASEAN guna mencegah ledakan jumlah migran yang jauh lebih besar dan tidak terprediksi. Demikian, setiap negara memiliki hak untuk menyusun dan menerapkan Undang-Undang, tetapi norma bersama tetap harus dirumuskan untuk memberi pelindungan dan menjaga martabat migran. Migrasi intra-ASEAN mendorong negara anggota untuk mengurangi hambatan mobilitas dan mendorong integrasi regional lebih cepat. Penulis akan mendalami bahasan dengan kerangka teori norm life cycle untuk menjelaskan bagaimana ACTIP berperan sebagai norm entrepreneur dalam mitigasi ledakan migran tidak teratur. Finnemore dan Sikkink (1998) mengemukakan teori norm life cycle untuk menjelaskan bagaimana norma baru secara bertahap dapat diterima oleh masyarakat internasional secara sosialisasi dan institusi. Finnemore dan Sikkink membagi teori dalam tiga tahapan. Pertama, norm emergence, kedua, norm cascade dan ketiga, internalization dengan penjelasan pada setiap fase siklus norma dan bagaimana implementasinya di negara anggota.

Stage I: Norm emergence

Kemunculan norma migrasi teratur terlihat pasca Perang Dunia II, ekonomi Asia Tenggara mengalami transformasi dari produksi pertanian menuju produksi industri untuk menyokong produksi global dan pergeseran pola perdagangan serta investasi. Akibatnya, negara anggota mempromosikan kebijakan industri dan memperoleh keuntungan dari relokasi manufaktur padat karya. Singapura dan Malaysia adalah dua negara yang mengalami krisis tenaga kerja tahun 1970-1980 disertai kesenjangan upah sehingga memfasilitasi migrasi tenaga kerja dari Thailand, Indonesia dan Filipina (Clark, 2015). Selain itu, kebijakan migrasi disertai pemberian insentif bagi tenaga kerja terampil guna meningkatkan arus migrasi sirkuler dan memarjinalkan pekerja berketerampilan rendah serta memperketat kontrol perbatasan (Nanthini, 2020). Kaur (2015) menjelaskan dua mobilitas transnasional di Asia Tenggara yaitu kelompok pertama adalah negara kelompok imigran yang meliputi Filipina, Kamboja, Myanmar, Laos, Indonesia dan Vietnam dan kelompok kedua adalah negara kelompok emigran yang meliputi Brunei, Singapura, Malaysia dan Thailand.

Fase kemunculan norma terdiri dari beberapa tahap seperti: agenda setting, konsolidasi dukungan, pendekatan institusional, negosiasi, adopsi dan komitmen. Pada fase setting agenda, ASEAN berusaha meningkatkan kesadaran regional melalui konferensi dan pertemuan-pertemuannya. Konsolidasi dukungan bergulir dengan melembagakan norma melawan kejahatan transnasional sejak akhir 1990-an dan mewajibkan negara mitra menandatangani kesepakatan untuk memperkuat komitmen mereka terhadap norma-norma kawasan (Yusran, 2018). Tahun 1997, ASEAN mengadopsi Declaration on Transnational Crime dan mengakui perlunya memiliki modal regional yang efektif dan nyata (ASEAN, 2017). 

Pada titik ini, ASEAN telah mendistribusikan norma kepada negara anggota dan menerjemahkan norma kepada aktor eksternal yaitu negara anggota. Sejalan dengan itu, ASEAN Ministerial Meeting on Transnational Crime (AMMTC) tahun 1999, mengadopsi Plan of Action to Combat Transnational Crimes sebagai langkah nyata merespon deklarasi tahun 1997 dengan cakupan jenis kriminalisasi TPPO dalam yurisdiksi domestik dan peningkatan kapasitas penegak hukum. Disamping itu, tahun 1999 implementasi Plan of Action yang disusun oleh Senior Officials Meeting on Transnational Crime (SOMTC) bertujuan mempertemukan ASEAN Director-Generals of Immigration and Heads of Consular Affairs Division (DGICM), the ASEAN Chief of National Police (ASEANAPOL), the ASEAN Law Ministers Meeting (ALAWMM), dan ASEAN Finance Ministers Meeting. Aktor eksternal regional yang berperan signifikan dalam mendukung upaya kejahatan transnasional adalah Amerika Serikat melalui kerjasama intelijen ASEANAPOL dan semakin masif pasca Peristiwa 9/11 (Bakker et al., 2020)

Stage II: Norm cascade

Selama tahap kaskade norma, mulailah proses pengenalan memunculkan norma-norma bagi aktor eksternal. Dalam kasus migrasi ini, ACTIP yang diadopsi oleh negara anggota dan dilembagakan oleh memerlukan sosialisasi yang panjang. Acharya (2010) mendefinisikan sosialisasi internasional sebagai upaya mendorong aktor untuk mengadopsi atau melaksanakan aturan dan norma masyarakat dalam jangka panjang. Finnemore lebih detail mengemukakan bahwa indikator atas pengenalan identitas dan diikuti oleh mendefinisikan ulang perilaku negara sebagai langkah mematikan apakah sosialisasi internasional berhasil atau tidak. Dalam hal ini, Plan of Action menekan negara anggota untuk memperkuat upaya regional melawan TPPO dengan melaporkan Undang-Undang nasional, peraturan dan informasi tentang perjanjian internasional khususnya yang telah diratifikasi. DGICM yang bertanggungjawab mengawasi pelaksanaan komitmen TPPO merilis Plan of Action for Cooperation in Immigration Matters tahun 2000 (ASEAN, 2021). Plan of Action ini berfokus pada struktur kelembagaan untuk mengkoordinasikan kerjasama dalam isu-isu keimigrasian, termasuk TPPO dan pembubaran organisasi kriminal.

Tahun 2001, AMMTC menyatakan bahwa kejahatan transnasional tergolong sebagai TPPO yang mengancam keamanan ASEAN dan tergolong sebagai ancaman non-tradisional. DGICM semakin mendesak pengadopsian instrumen khusus terhadap TPPO. Declaration of ASEAN Concord 2003 secara tegas mengakui TPPO sebagai keamanan kawasan yang perlu dibahas dalam ASEAN Political-Security Community. Tahun 2004, diadopsi ASEAN Declaration against Trafficking Persons Particularly in Women and Children. Deklarasi ini berfokus pada perlindungan korban, khususnya membedakan korban dan pelaku serta memastikan perlakuan manusiawi dan perlindungan hak asasi korban. 

Treaty on Mutual Legal Assistance in Criminal Matters (MLAT) tahun 2004 menguatkan dasar kerjasama internasional bidang pidana investigasi dan penuntutan. MLAT mewajibkan negara anggota membentuk otoritas khusus dan menerima pendampingan permintaan hukum. Secara khusus pula, otoritas khusus memungkinkan perluasan jangkauan dengan menggandeng INTERPOL dan ASEANAPOL. Adopsi MLAT memberikan langkah-langkah komprehensif mengenai bantuan hukum, menyelaraskan anti-TPPO dan mendukung Plan of Action TPPO.

Tahun 2007-2010, ASEAN mengadopsi kembali tiga instrumen. Pertama, ASEAN Declaration on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers sebagai komitmen untuk mengekang TPPO dengan hukuman lebih ketat kepada traffickers (ASEAN, 2007). Kedua, ASEAN Political-Security Community Blueprint tahun 2009 yang berfokus pada pelindungan korban berdasarkan komitmen regional dan internasional (ASEAN, 2021). Ketiga, ASEAN Master Plan on ASEAN Connectivity tahun 2010 untuk membentuk komite ASEAN guna implementasi Migrant Workers Declaration seperti penertiban TPPO (ASEAN, 2017). AMMTC tahun 2015 melahirkan Kuala Lumpur Declaration in Combating Transnational Crime guna menyokong kerangka kerja ASEAN dalam melawan TPPO (ASEAN, 2015). Di saat bersamaan deklarasi ini juga merespon krisis pengungsi Rohingya dan Bangladesh di beberapa negara anggota sehingga di sisi lain krisis pengungsi juga menjadi tantangan keamanan regional. Deklarasi ini jelas memperkuat mandat AMMTC dan dapat mengadakan pertemuan darurat untuk mengambil tindakan terhadap ancaman langsung.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline