Lihat ke Halaman Asli

Kanzi Pratama A.N

Salam hangat.

Potret Rasisme Amerika Serikat

Diperbarui: 12 November 2022   07:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Potret mengenai rasisime di Amerika salah satunya dapat tercermin dari pemikiran Ta-Nehisi Coates. Coates menulia buku berjudul Between the World and Me (2015) yang ditujukan kepada putranya Samori. Coates mempertanyakan apakah orang-orang sepertinya (orang kulit hitam) tidak boleh memiliki hak dan kendali atas tubuhnya sendiri, sekalipun orang kulit hitam adalah manusia intelek dan independen. Coates menggambarkan kehidupan kecilnya saat tinngal di Baltimore. Disana Ia pertama kali mulai memahami kesenjangan antara dunia orang kulit hitam dengan orang kulit putih, meskipun Coates menyadari beragam faktor yang melatarbelakanginya.

Pemikiran Coates mulai terbentuk saat Ia banyak membaca buku-buku mengenai perkembangan orang Afrika. Coates mendukung perkembangan ras kulit hitam dan menolak tegas tindak kekerasan terhadap kelompoknya. Coates membagikan pengalamnnya saat kuliah di Howard University dimana Ia mulai menekuni bagaimana orang kulit hitam menciptakan peradaban di Amerika. Masa ini Coates memiliki pemikiran dimana sejak zaman lampau orang kulit hitam sudah diasingkan atau dipisahkan dari peradaban orang kulit putih dan menyebut orang kulit hitam sebagai "kings in exile". Demikian, Coates tetap berpikir objektif dan melakukan diskusi terbuka mengenai pemikirannya.

Tahun 2000 terjadi peristiwa yang menyebabkan Coates kesal yaitu terbunuhnya Prince Jones. Prince merupakan teman Coates selama berkuliah di Howard. Prince dibunuh oleh dua anggota polisi di Spring Terrace dengan tembakan sebanyak 16 kali. Kematian Prince ini dapat dikatakan sebagai awal mula pergerakan sosial Black Lives Matter di Amerika sebab dalam persidangan terdapat kejanggalan kesaksian yang pada akhirnya memicu kemarahan orang kulit hitam saat itu. Pasca tewasnya Prince, Coates mulai berpikir bahwa kehidupan orang kulit hitam sudah selayaknya diperjuangkan (untuk setara dengan orang kuli putih).

Tak lama berselang tahun 2001, terjadi Peristiwa 9/11 yang menggemparkan. Respon Coates atas peristiwa tersebut adalah peristiwa 9/11 merupakan balasan atas kematian Prince, bahkan Coates sama sekali tidak menaruh simpati atas peristiwa yang korbannya kebanyakan adalah orang kulit putih. Saat Coates pindah ke Prancis, Coates benar-benar menyadari bahwa rasisme telah merusak tatanan dan hakikat manusia yang bermartabat, Ia berpandangan bahwa orang kulit hitam selayaknya dapat ditempatkan pada kedudukan yang lebih tinggi pasca berakhirnya perbudakan orang kulit hitam.

Coates mengajak orang kulit hitam untuk terlibat dalam kesetaraan ras dengan orang kulit putih, meskipun Coates meyakini bahwa orang kulit putih di Amerika akan terus menjajah kehidupan orang kulit hitam. Jadi, tidaklah mengherankan apabila rasisme di Amerika dan dunia akan terus berlanjut apabila ras-ras di muka bumi tidak menghargai harkat dan martabat manusia selayaknya manusia sesuai hakikatnya.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline