Lihat ke Halaman Asli

Kanzi Pratama A.N

Salam hangat.

Ketegasan Tiongkok dalam Konflik Laut Cina Selatan

Diperbarui: 30 Maret 2022   07:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Keamanan. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Pixelcreatures

Dalam dunia ideal tanpa kendala ekonomi atau geopolitik, sebuah negara dapat mengambil tindakan koersif untuk meningkatkan reputasi dalam menghadapi tantangan. Namun pada kenyataannya, negara menghadapi kendala ekonomi dan geopolitik yang memaksa mereka untuk menyeimbangkan biaya terhadap kebutuhan untuk kembali menyusun strategi. 

Perhitungan ini sesuai dengan argumen Kertzer (2017) bahwa "risk aversion increases sensitivity to both the costs of ghting and the costs of backing down." Negara juga perlu mengambil jalan tengah dan membuat perhitungan penyeimbangan biaya.

Negara perlu menahan diri untuk tidak menggunakan paksaan ketika negara tidak bertekad membangun reputasi. Untuk beberapa isu, negara terlibat dalam paksaan saat kebutuhan negara tinggi dan biaya ekonomi rendah. Dalam keadaan tersebut, negara hanya terlibat perilaku koersif pada permasalahan vital.

Perselisihan LCS secara luas dilihat dari kebijakan yang lebih luas dan perdebatan ilmiah tentang hegemoni AS vis--vis rising. Ketegasan Tiongkok di LCS muncul dari pertumbuhan kekuatan militer, kemenangan atas kebangkitan krisis keuangan barat dan nasionalisme. Kontribusi arus utama studi HI pada perselisihan LCS dan munculnya perdebatan di Tiongkok didorong oleh penggunaan paradigma termasuk realisme, liberalisme bahkan orientasi materialis sejarah.

Ketegasan Tiongkok mengacu pada apa yang disebut 'ketegasan ofensif'. Ketegasan ini dapat diartikan sebagai ketegasan defensif atau ketegasan kreatif. Perilaku Tiongkok yang aktif mengejar kepentingan nasional dan bertindak berani untuk mencapainya tujuan, sering mendapat pertentangan dengan kepentingan/keamanan negara lain sehingga Tiongkok dianggap asertif. Narasi Tiongkok yang tegas dan jelas menunjukkan bahwa Tiongkok ingin melakukan sesuatu yang berbeda. Oleh karena itu, kebijakan Tiongkok sangat berbeda secara kualitatif atau kuantitatif.

Sengketa secara umum dibagi menjadi dua yaitu pemilik tanah dan karakteristiknya dan negara yang berhak atas perairan. Terdapat enam negara yang terlibat: Tiongkok, Taiwan, Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei. Tiga yang pertama mengklaim daratan di Kepulauan Paracel dan Kepulauan Spratly dan tiga lainnya hanya mengklaim beberapa wilayah di Kepulauan Spratly. Scarborough Shoal disengketakan oleh Tiongkok, Taiwan dan Filipina. Sebagian wilayah seperti Kepulauan Pratas yang disengketakan antara Tiongkok dan Taiwan dianggap bagian dari 'isu Taiwan'. Klaim dan perselisihan sengketa telah menghasilkan jaringan kompleks dari klaim yang tumpang tindih.

Masalah kedaulatan permasalahan utama. Pertama, konteks nasionalisme yang tumbuh di kawasan memiliki makna simbolis yang penting artinya bagi warga negara maupun pemerintah dan dapat digunakan sebagai alat tawar-menawar politik domestik. Kedua, kedaulatan di laut meletakkan dasar bagi hak maritim untuk perairan teritorial dan ZEE. Hal ini memungkinkan negara dengan hak berdaulat atas kepulauan secara substansial meningkatkan kontrol atas laut dan memperoleh keuntungan dari sumber daya alam.

Simposium merupakan salah satu contoh second track diplomacy yang pernah dilakukan dan berpotensi mendorong penyelesaian sengketa sebagai kelanjutan first track diplomacy. Setidaknya ada dua hal kritis mengapa second track diplomacy dapat menyelesaikan konflik. Pertama, penekanan diplomasi dalam simposium memberi peluang bagi pihak yang bersengketa untuk dapat hadir dalam personal capacity dan mengemukakan pendapat secara lebih terbuka tanpa tekanan yang terjadi pada first track diplomacy. Kedua, simposium berperan sebagai potensi pendukung penyelesaian sengketa dengan menunjuk salah satu negara netral sebagai tuan rumah.

Terdapat tiga faktor politik domestik yang mendorong kebijakan luar negeri Tiongkok di wilayah LCS. Pertama, perubahan domestik yang lebih luas dimana para politisi setelah Communist Party leadership mengalami tantangan mendasar terhadap legitimasi domestik mereka. Pasca wafatnya Deng Xiaoping (pemimpin Tiongkok sampai tahun 1990-an) muncul pemimpin-pemimpin yang lebih muda dan kurang pengalaman militernya. Oleh sebab itu, terjadi peningkatan kapabilitas militer People's Liberation Armmy (PLA) sebagai garda utama keselamatan dan mencsapai kepentingan nasional Tiongkok. Sejak 2010 Communist Party mulai menegaskan kepentingan Tiongkok dengan strategi yang dapat memperkuat nasionalisme dan otoritas domestik.

Kedua berkaitan dengan perkembangan politik, khususnya pergantian kepemimpinan di Beijing pada 2012 dan pengaruh politik internal. Terjadi juga peningkatan ketegasan militer dan politik Beijing atas masalah LCS. Pergantian kepemimpinan kepada Xi Jinping menandai sebuah transformasi dalam kebijakan luar negeri, terutama yang berkaitan dengan sengketa LCS. Beberapa pakar politik berpendapat bahwa pemerintahan Xi Jinping menggunakan kekuatan ekonomi dan militer memaksakan kekuatannya pada tatanan dunia.

Ketiga mengacu pada ketidaktertarikan Beijing untuk bekerjasama dengan ASEAN yang sebenarnya dapat memfasilitasi penyelesaian perselisihan diantara negara-negara anggota dan aktor eksternal. Ada tiga cara yang berpotensi merusak ASEAN. Pertama, pemerintah Tiongkok berhati-hati untuk memilih berurusan dengan masing-masing negara penuntut secara bilateral sebab cara diplomasi melemahkan posisi tawar negara-negara kecil seperti Filipina dan Vietnam. Kedua, beberapa anggota ASEAN merupakan negara penuntut LCS dengan konflik dan kepentingan yang menyatu sehingga sulit ASEAN untuk bertindak sebagai media netral. Akibatnya, Tiongkok yang bukan anggota ASEAN memiliki potensi sengketa dengan mekanisme yang berasal dari luar ASEAN.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline