Migrasi tenaga kerja merupakan arus individu atau kelompok dari negara asal ke negara lain untuk bekerja. Alasan aspek ekonomi adalah alasan mendasar untuk melakukan migrasi. Misalnya, alasan ekonomi untuk pengembangan karir, penghasilan yang tidak memadai, standar hidup yang tinggi, atau pendapatan yang lebih baik.
Selanjutnya, perkembangan teori migrasi ekonomi neoklasik adalah fondasi guna memahami mengapa seseorang atau kelompok melakukan migrasi.
Dalam teori neoklasik, alasan utama melakukan migrasi adalah perbedaan upah dan kondisi kerja antarnegara dan biaya untuk melakukan migrasi. Massey dkk. (1993) menyatakan bahwa teori neoklasik mengakui migrasi sebagai untuk mengurangi risiko pendapatan rendah atau penyelesaian masalah keterbatasan modal untuk melakukan produksi.
Oleh karena itu, teori ini juga menyoroti bahwa migrasi disebabkan oleh kesenjangan pasar tenaga kerja khususnya pada aspek geografis. Tanda dari negara berupah tinggi adalah tenaga kerja terbatas yang relatif terhadap modal. Sebaliknya, berdasarkan kurva hubungan antara penawaran dan permintaan tenaga kerja, negara dengan banyak tenaga kerja relatif terhadap modal memiliki upah pasar yang rendah.
Oleh karena itu, kesenjangan upah menginduksi tenaga kerja untuk melakukan migrasi dari negara-negara berupah rendah ke negara-negara berupah tinggi. Pengurangan pasokan tenaga kerja di negara berkembang telah menyebabkan kenaikan upah. Masalah-masalah ekonomi seperti pengangguran, produktivitas rendah, PDB per kapita rendah, kemiskinan dan upah minimum rendah.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) bulan November 2021 sebanyak 6.437 pekerja migran Indonesia yang ditempatkan di pasar domestik maupun internasional.
Dalam pasar domestik, penempatan pekerja migran didominasi oleh Jawa Timur (38%), Jawa Tengah (24%), Jawa Barat (17%), Bali (6,7%) dan Lampung (6,5%). Pasar internasional terdapat lima negara dengan penempatan pekerja terbanyak adalah Hongkong (69%), Taiwan (13%), Singapura (5%), Italia (3%), dan Polandia (1,9%).
Data pada periode November 2021 mengalami penurunan dibandingkan dengan bulan Oktober 2021 sebanyak 6.733 pekerja migran. Walaupun sebelumnya pada September 2021 menuju bulan Oktober 2021 telah mengalami peningkatan sebanyak 411 pekerja migran. Sebanyak 6.437 pekerja migran didominasi oleh perempuan sebanyak 87% dan laki-laki sebanyak 13%. Pekerja migran cenderung bekerja pada sektor informal dengan presentase 75% dan sektor formal sebesar 25%.
Pada bulan November 2021, BP2MI menerima 122 pengaduan dari pekerja migran. Permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh migran antara lain homesick (19%), tidak menerima gaji (13%), meninggal dunia di negara tujuan (10%), perdagangan manusia (7%), alasan lain-lain (7%), penipuan peluang kerja (5,7%), gagal berangkat (4,9%), biaya penempatan melebihi struktur biaya (4%), sakit jiwa atau depresi (4%) dan meninggal dunia (3,2%).
Indonesia memainkan peran penting dalam menciptakan gerakan migrasi tenaga kerja Indonesia menuju Malaysia. Meskipun demikian, melimpahnya sumber daya manusia sejatinya tidak mempengaruhi gerakan migrasi. Variabel pendidikan merupakan variabel utama mengapa sebagian besar TKI Indonesia tidak berpendidikan.
Dampak negatif dari tingkat pendidikan di Indonesia dan pergerakan migrasi mengindikasikan jika individu berpendidikan memutuskan untuk tidak melakukan migrasi. Dampak positif dari gerakan migrasi ini jelas mengurangi jumlah pengangguran secara signifikan.