Lihat ke Halaman Asli

Angin Ribut Omnibus Law

Diperbarui: 17 November 2020   07:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Saat ini bangsa Indonesia tengah dihadapkan pada dua pilihan sulit, yaitu pandemi Covid-19 yang sedang mengglobal dan huru-hara sebagai konsekuensi atas pengesahan UU kontroversial (Omnibus Law). Para demonstran telah mengepung kantor-kantor pemerintahan sejak tanggal 6 Oktober 2020. 

Amarah massa layaknya induk singa yang tidak sudi anaknya diganggu apalagi disakit. Kemarahan massa yang tidak mampu dibendung oleh aparat keamanan menyebabkan rusaknya fasilitas-fasilitas umum. 

Mulai dari kantor pemerintahan yang sudah berwujud seperti rumah yang telah ditinggal lama oleh penghuninya sampai pos-pos polisi pun ikut menjadi sasaran amuk massa. Sangat disayangkan respon didapat demonstran bagaikan air susu dibalas air tuba, demonstran mengalami penyerangan dari oknum-oknum aparat keamanan yang tidak bertanggungjawab bahkan aparat tidak segan melakukan tindakan represif sampai melakukan penculikan. 

Data pada tanggal 9 Oktober 2020, terdapat 280 pengaduan mengenai hilangnya demonstran baik dari masyarakat umum dan mahasiswa. Tindakan ini mengingatkan kita betapa brutalnya aparat kemanan dalam bertindak. Hal ini didukung oleh peristiwa-peristiwa dimasa lampau seperti Peristiwa Reformasi 1998 dan yang terakhir adalah peristiwa penembakan dua mahasiwa di Kendari, Sulawesi Tenggara pada tahun 2019.

 Tidak dapat dipungkiri setiap demonstrasi selalu ada orang yang memancing di air keruh, namun sangat sulit dibedakan karena oknum-oknum tersebut selalu menggunakan nama-nama kampus guna melancarkan aksinya. 

Jajaran anggota dewan seakan menutup telinga dan matanya dalam melihat respon ketidaksetujuan masyarakat, terutama respon buruh dan mahasiswa dalam pengesahan RUU Ciptaker ini. Dengan kontroversial nya rancangan ini seharusnya menjadi koreksi bagi dewan perwakilan bersama pemerintah.

Sejatinya "proyek besar" UU Ciptaker mulai dibahas sejak 17 Desember 2020. RUU Ciptaker merupakan bagian dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) jangka menengah tahun 2020-2024 yang disahkan oleh "Dewan Perwakilan Rakyat". RUU Ciptaker ini juga "digenjot" peresmiannya bersama 50 RUU Prolegnas Prioritas tahun 2020.

Lebih lanjut Presiden Joko Widodo pada 12 Februari 2020 bersama enam menteri yaitu, menteri perekonomian, menteri keuangan, menteri hukum dan HAM, menteri agraria dan Tata Ruang serta menteri kehutanan menyerahkan draf naskah RUU Ciptaker kepada Ketua DPR dan empat wakilnya. Setelah itu diadakanlah Rapat pengganti Badan Musyarawarah membahas RUU Ciptaker. 

Secara resmi Badan Legislatif DPR RI membetuk Panitia Kerja (Panja) RUU Ciptaker pada 14 April 2020. Dengan peresmian Panja, maka RUU Ciptaker ini digenjot semakin cepat. Rumusan RUU Ciptaker tersusun atas 174 pasal dari 15 bab dan memengaruhi 1203 pasal dari 79 UU terkait dengan 7197 Daftar Inventarisasi Masalah (DIM). 

Secara intensif RUU Ciptaker dibahas mendetail sejak 20 April sampai 3 Oktober 2020 setelah melalui 3 masa sidang DPR. Penyebab utama amarah buruh adalah peresmian UU Ciptaker dinilai terlalu tancap gas dengan 64 kali rapat, 2 kali rapat kerja, 56 kali Rapat Panja dan 6 kali Rapat Timus dan silakukan setiap senin sampai minggu dan berlangsung dari pagi hingga malam bahkan sampai dini hari serta dilakukan di dalam maupun di luar gedung DPR. 

Pengesahan RUU Ciptaker tingkat 1 oleh Badan Legilatif DPR juga dinilai terburu-buru karena dilakukan pukul 21.30 pada Sabtu, 3 Oktober 2020. Di waktu itu pula, DPR, DPD dan pemerintah baru saja tarik napas setelah merampungkan substansi-substansi dalam Rapat Laporan Tim Perumus dan Tim Sinkronisasi. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline