Pendahuluan
Konflik antara Israel dan Palestina sudah berlangsung cukup lama, 75 tahun. Konflik ini muncul dari konflik sejarah yang dimulai pada akhir abad ke-19, dengan munculnya gerakan Zionis. Namun, titik awal konflik modern adalah berdirinya Negara Israel pada tahun 1948, yang disusul dengan Perang Arab-Israel Pertama. Sejak saat itu, konflik ini telah mengalami banyak pertempuran dan terulang kembali, dengan banyak kelompok yang berusaha mencapai penyelesaian yang harmonis namun sayangnya tidak berhasil. Konflik ini sangat kompleks dan melibatkan banyak aspek, antara lain agama, etnis, kebijakan politik, dan kepemilikan tanah.
Konflik ini kembali meletus akibat serangan mendadak yang dilakukan Hamas terhadap Israel pada tanggal 7 Oktober 2023 dengan meluncurkan ribuan roket ke arah Israel dan serangan tersebut dilakukan melalui jalur darat, laut, dan udara. Hamas sendiri merupakan kelompok bersenjata Palestina yang berpusat di wilayah Gaza. Hamas dikenal sebagai singkatan dari Harakat al-Muqawama al-Islamiya, atau "Gerakan Islam Perlawanan" dan berarti "semangat" dalam bahasa Arab. Kelompok ini bertekad menghancurkan Israel dan ingin menjadikan Israel menjadi negara yang berdasarkan Islam. Menyusul serangan Hamas, pada 10 Oktober 2023, Israel membalas serangan tersebut dengan mengirimkan bom ke wilayah Gaza sebagai pembalasan. Dari studi kasus ini, mari kita coba memahami evolusi konflik melalui perspektif realisme klasik, termasuk pendekatan realis ofensif dan defensif.
Dilihat dari pandangan Realisme Klasik
Realisme klasik, juga dikenal sebagai realisme politik, adalah sebuah konsep dalam studi hubungan internasional yang memandang negara sebagai aktor utama yang berupaya mempertahankan dan meningkatkan kepentingan dan keamanan nasionalnya. Dalam situasi ini, Israel dan Palestina dianggap sebagai pihak yang berupaya maksimal untuk mendapatkan keuntungan bagi diri mereka sendiri dalam konflik ini. Ada beberapa alasan Israel menyerang Palestina: Ingin memonopoli tanah Palestina. Israel juga kembali berperang dengan Palestina karena ingin menduduki Yordania mulai dari Jalur Gaza dan wilayah Sinai hingga Tepi Barat dan Yerusalem Timur.
Keinginan inilah yang pada akhirnya memotivasi Israel untuk melakukan apa pun yang diperlukan untuk mencapai tujuannya. Hal ini dapat melibatkan berbagai strategi, seperti memperkuat militer, membangun pertahanan, dan melakukan diplomasi. Dari sudut pandang realisme klasik, tindakan ini dipandang sebagai upaya untuk melindungi kepentingan negara dalam situasi internasional yang seringkali tidak stabil dan tidak stabil. Di sisi lain, Palestina juga berupaya memperjuangkan kepentingan dan tujuannya. Mereka mencari pengakuan dari negara-negara di seluruh dunia, menginginkan kemerdekaan dan hak-hak yang layak bagi rakyat Palestina. Hal ini dapat melibatkan berbagai strategi, termasuk pertempuran bersenjata untuk mempertahankan negara. Dalam perspektif realisme klasik, tindakan ini juga dianggap sebagai upaya yang wajar untuk melindungi dan mengkonsolidasikan kepentingan dalam konteks internasional yang kompleks.
Dilihat dari pandangan Realisme Offensive
Realisme offensive menegaskan bahwa negara atau aktor internasional lainnya akan berusaha mengerahkan kekuatan dan pengaruh sebesar-besarnya agar dapat bertahan atau mempertahankan kekuatan dalam membela negara. Dari perspektif ini, keamanan dipandang sebagai hasil dari kekuasaan dan kendali, bukan keseimbangan atau kerja sama. Jika kita melihat Israel melalui kacamata realisme offensive, kita dapat melihat bahwa Israel berupaya dengan berbagai cara untuk memaksimalkan kekuatan dan pengaruhnya. Dengan berupaya memperkuat militernya, memperluas kendali teritorialnya, dan mempengaruhi aktor internasional lainnya untuk mendukung posisi mereka. Dalam konteks konflik dengan Palestina, Israel menggunakan tindakan offensive sebagai sarana perlawanan terhadap Palestina untuk menguasai dan menduduki wilayah Palestina, termasuk serangan militer, memperkuat blokade dan upaya diplomatik untuk mengisolasi Palestina di tingkat internasional.
Tindakan Israel terhadap warga Palestina yang melakukan penyerangan juga merupakan tindakan genosida dan melanggar hukum kemanusiaan (hukum perang) dengan menggunakan peluru fosfor. Pada dasarnya, kedua negara ini bersaing untuk menguasai wilayah serupa, dan keduanya memiliki tujuan yang bertentangan. Israel memperkuat kekuatan militernya dan memperluas wilayahnya melalui pembangunan kolonial dan pemukiman di wilayah yang dihuni oleh warga Palestina. Tindakan ini dapat dilihat sebagai tindakan untuk memperkuat posisi mereka dalam hubungan internasional dan melindungi keamanan nasional. Dengan latar belakang realisme offensive, Palestina melakukan tindakan pembalasan terhadap Israel untuk mempertahankan hak mereka atas wilayah yang disengketakan. Mereka menggunakan berbagai taktik, termasuk menembakkan roket ke wilayah Israel. Tujuannya untuk melindungi kedaulatan dan keamanan negara serta memperkuat pengaruhnya di kawasan. Ini adalah bagian dari strategi offensive yang biasa digunakan dalam konflik internasional, di mana negara-negara berupaya memaksimalkan kekuatan dan pengaruhnya untuk mencapai tujuan nasional. Dalam perspektif realisme offensive, perselisihan Israel-Palestina dapat dilihat sebagai perselisihan yang rumit untuk diselesaikan karena kedua belah pihak mempunyai kepentingan nasional yang berlawanan. Kedua belah pihak sering menggunakan kekuatan militer dan strategi ofensif lainnya untuk menjaga keamanan nasional dan meningkatkan pengaruh regional.
Dilihat dari pandangan Realisme Deffensive
Teori realisme deffensive menekankan pada ungkapan bahwa suatu negara harus mempunyai kekuatan yang memadai, dalam artian tidak memaksimalkan kekuatan yang dimiliki negara karena akan membahayakan negara itu sendiri di sana. Realisme deffensive sendiri merupakan prinsip hubungan internasional yang menekankan perlunya keamanan dan kelangsungan hidup negara dalam sistem internasional yang tidak teratur. Prinsip ini dikemukakan oleh Kenneth Waltz dan John Mearsheimer. Tindakan deffensive dapat mencakup penguatan pertahanan militer, pembentukan aliansi, dan diplomasi. Tujuan utamanya adalah untuk mencegah agresi dari negara lain dan melindungi kedaulatan dan keamanan nasional. Di Israel dan Palestina, pendekatan realis deffensive adalah strategi yang dipilih oleh kedua belah pihak. Realisme deffensive mengacu pada kebijakan negara yang bertujuan mempertahankan status quo dan keamanan nasional tanpa mencari kekuasaan atau dominasi.
Israel menerapkan realisme deffensive melalui pembangunan tembok pemisah dan sistem pertahanan rudal Iron Dome. Pagar ini dinilai Israel sebagai langkah penting dalam mencegah serangan teroris. Sedangkan Iron Dome bertugas melindungi penghuninya dari serangan rudal. Inisiatif-inisiatif ini mencerminkan upaya Israel untuk menjaga keamanan dan kedaulatan. Meski sering mendapat kritik dari dunia internasional, Israel menyatakan tindakan ini diperlukan untuk melindungi rakyatnya dan mempertahankan eksistensi negara. Di sisi lain, Palestina juga menunjukkan realisme defensif dalam konflik ini. Meski tidak memiliki kekuatan militer sebanding dengan Israel, Palestina tetap berupaya melindungi hak dan eksistensi rakyatnya melalui diplomasi internasional dan perlawanan sipil. Mereka berusaha mendapatkan dukungan internasional dan memperjuangkan hak-hak mereka di banyak forum internasional. Hal ini menunjukkan bahwa realisme deffensive tidak hanya tentang kekuatan militer tetapi juga tentang diplomasi dan perjuangan keadilan.
Dengan demikian, realisme deffensive menjadi strategi penting dalam konflik Israel-Palestina. Meskipun konflik ini masih jauh dari terselesaikan, pemahaman tentang realisme deffensive dapat menawarkan perspektif baru mengenai dinamika dan potensi solusinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H