Lihat ke Halaman Asli

Mengenal Hedging, Penangkal Dampak Pelemahan Nilai Rupiah

Diperbarui: 26 September 2015   10:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam beberapa bulan terakhir, fluktuasi nilai tukar Rupiah menjadi salah satu permasalahan ekonomi yang paling sering dibicarakan karena menimbulkan kerugian bagi banyak pihak, terutama dalam bentuk kerugian kurs. Salah satu pihak yang menderita kerugian dari pelemahan Rupiah adalah PT PLN. Sepanjang tahun 2015 (sampai 31 Maret 2015), kerugian kurs yang ditanggung PT  PLN karena melemahnya nilai Rupiah mencapai Rp1,3 triliun, dan jika diakumulasikan dengan kerugian perusahaan di sektor lain, nilai kerugian tentu akan jauh lebih besar dari ”sekadar” Rp1,3 triliun. Lalu, apakah ada cara yang dapat dilakukan untuk menekan dampak dari melemahnya nilai Rupiah?

Salah satu langkah yang dapat dilakukan untuk meminimalisasi dampak tersebut adalah dengan melakukan lindung nilai. Lindung nilai atau hedging merupakan sebuah tindakan yang dilakukan untuk meminimalisasi risiko dalam investasi dan digunakan untuk membatasi potensi kerugian yang dapat dirasakan investor. Lindung nilai dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai macam instrumen keuangan, namun cara yang lazim digunakan adalah dengan membeli future contract. Future contract adalah perjanjian yang memberikan hak sekaligus kewajiban kepada satu pihak untuk memperdagangkan barang tertentu di masa depan  dengan harga yang telah ditentukan saat ini.

 

Ilustrasi Pembayaran Utang Luar Negeri dengan dan tanpa Future Contract

(Asumsi: perjanjian kontrak: 1$ = 13.500; Utang dengan bunga 0%)

Manfaat utama dari lindung nilai adalah memberikan kepastian dalam berinvestasi atau saat memiliki barang yang nilainya fluktuatif. Salah satu teori yang dapat mendukung penggunaan hedging adalah disposition effect yang dikemukakan oleh Shefrin dan Statman (1998). Menurut Shefrin, ada sebuah fenomena di dalam pasar saham, dimana seorang investor memiliki kecenderungan untuk lebih cepat melepas saham—saham yang harganya tinggi dan lebih lama menahan saham yang harganya lebih rendah dari harga beli. 

Menurut Shefrin, kecenderungan ini terjadi karena pada saat harga saham relatif rendah dibanding harga belinya, investor akan berekspektasi bahwa harga saham tersebut akan kembali naik. Akibatnya, saham yang harganya relatif rendah akan tetap dipertahankan oleh investor. Sebaliknya, investor akan memiliki ekspektasi bahwa harga saham akan segera turun pada saham-saham yang harganya relatif tinggi, sehingga tindakan yang dianggap “rasional” adalah dengan menjual instrumen tersebut.

Jika fenomena tersebut dikaitkan dengan kondisi Rupiah saat ini, pelemahan Rupiah akan menyebabkan perusahaan-perusahaan cenderung menyimpan Rupiah yang dimiliki. Akibatnya, ada kemungkinan bahwa perusahaan menderita kerugian yang lebih besar dari pelemahan nilai Rupiah di masa depan. Selain itu, banyak perusahaan di Indonesia yang memiliki utang luar negeri dalam bentuk US Dollar. Padahal, salah satu penyebab dari pelemahan nilai Rupiah saat ini adalah membaiknya kondisi perekonomian Amerika Serikat. Dengan terus membaiknya kondisi perekonomian AS, maka permintaan akan USD akan semakin meningkat dan mengakibatkan Rupiah semakin melemah. Untuk itu, hedging dapat membatasi potensi kerugian yang muncul, baik dari tindakan untuk menahan Rupiah yang terlalu lama maupun pembengkakan utang luar negeri.

Nyatanya, saat ini belum banyak perusahaan-perusahaan, terutama BUMN, yang melakukan hedging. Hal ini karena dengan melakukan lindung nilai, akan muncul biaya untuk membeli instrumen-instrumennya dan mengurangi keuntungan perusahaan. Selain itu, jika nilai Rupiah di masa depan mengalami penguatan (apresiasi), perusahaan tetap diwajibkan untuk membeli dollar sesuai dengan harga yang tercantum dalam kontrak, sehingga biaya yang dikeluarkan perusahaan akan lebih besar dari yang seharusnya. Beberapa pihak menginterpretasikan bahwa tambahan biaya tersebut dianggap sebagai kerugian negara, dan menurut Undang-Undang, tindakan yang merugikan negara akan dipidanakan sesuai ketentuan yang berlaku. Karena adanya perbedaan interpretasi dari aturan ini, banyak BUMN yang akhirnya tidak mau melakukan lindung nilai.

Seharusnya, saat ini hedging menjadi sebuah kewajiban, terlebih bagi BUMN-BUMN. Pertama, banyak BUMN yang beroperasi pada sektor yang memengaruhi kehidupan masyarakat luas, seperti bahan bakar (PT Pertamina) dan listrik (PT PLN). Apabila kondisi finansial perusahaan tidak stabil karena pergerakan nilai rupiah, kegiatan operasional perusahaan akan terganggu dan supply barang-barang akan terhambat, sehingga menghambat kinerja perekonomian. Untuk itu, kondisi finansial perusahaan, khususnya BUMN, harus selalu berada dalam keadaan yang stabil agar dapat memenuhi kebutuhan masyarakat, dimana hal tersebut bisa dicapai dengan melakukan hedging.

Selain itu, pada dasarnya tujuan BUMN berbeda dengan perusahaan swasta. Perusahaan swasta pada umumnya dituntut untuk mengejar keuntungan semata, namun BUMN lebih diarahkan untuk tercapainya kesejahteraan umum. Oleh karena itu, berkurangnya keuntungan BUMN, karena menjaga stabilitas kondisi keuangan, seharusnya tidak menjadi masalah besar bagi BUMN di Indonesia. Dengan “tanggung jawab” mengejar keuntungan yang lebih rendah, maka BUMN sebenarnya memiliki keleluasaan yang lebih untuk melakukan hedging. Terlebih lagi, saat ini sudah ada Standar Operasional Prosedur (SOP) mengenai hedging. SOP tersebut menyatakan bahwa selisih nilai tukar Rupiah dengan nilai di dalam kontrak tidak dianggap sebagai sebuah kerugian negara, tetapi hanya dianggap sebagai beban, sehingga BUMN tidak perlu khawatir akan ancaman pidana karena merugikan negara.

 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline