Lihat ke Halaman Asli

Kanopi FEBUI

TERVERIFIKASI

Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi FEB UI

Realita Durjana di Balik Tembok Abu

Diperbarui: 29 September 2023   20:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber. dokpri

Beberapa hari lalu, saya menapakkan kaki saya di wilayah timur Jakarta untuk menjumpai teman saya. Tembok abu menjulang tinggi bak raksasa yang menjaga kota di dalamnya. Rumah-rumah serupa dengan atap coklat kemerahan dan tembok berwarna putih tertata rapi mengisi setiap petak lahannya. 

Saya juga turut disapa ramah oleh para penjaga setempat. Begitu indah, rapi, dan nyaman saat saya memasuki area perumahan teman saya. Namun, segala ungkapan pujian sirna seketika saat saya berjalan sejauh lima langkah keluar dari benteng tembok abu. Tanahnya gersang dan luas rumah hanyalah sepetak. Hal ini kemudian melahirkan seribu tanda tanya. Apakah perbedaan spasial memungkinkan untuk melahirkan ketimpangan yang menjulang tinggi? Lantas, mengapa hal ini terus diindahkan?

Sisi Lain Gated Community

Hunian nyaman adalah idaman setiap insan. Dewasa ini, setiap sudut papan iklan pada jalan layang kerap menggeborkan hunian nyaman dalam perumahan. Tidak sepi peminat, para pengembang (atau developer) perumahan setia mengarungi uang dengan jumlah yang fantastis. Namun, siapa sangka pencapaian dalam mencetak angka fantastis dan menyediakan hunian nyaman malah justru menunjukkan fakta lain yang mengejutkan.

Perumahan atau yang dalam konteks ini adalah gated community adalah kawasan permukiman yang menjunjung tinggi eksklusivitas. Hal ini tercermin pada benteng atau tembok yang menjadi batas antara kawasan permukiman dengan wilayah luar (Ilustrasi 1). Selain itu, gated community di Indonesia identik dengan kawasan pemukiman yang dikembangkan oleh para konglomerat Indonesia berketurunan Tionghoa yang memiliki hubungan erat dengan presiden terdahulu, yakni Soeharto (Herlambang, et al. 2018).

Ilustrasi 1. Perumahan atau Cluster di Lippo Cikarang (Sumber: Lippo Cikarang)

Gated community ini juga biasa ditemukan di kawasan peri-urban atau di sekitar kota, layaknya Bekasi dan Tangerang. Hal ini bertujuan untuk mengakomidir tempat tinggal pekerja yang bekerja di dalam kota. Dengan demikian, kawasan permukiman ini menargetkan pada masyarakat lapisan kelas menengah. Para pengembang pemukiman kemudian mengemas kawasan permukiman dengan identitas eksklusivitas ini sebagai kawasan elit. Dengan begitu, keberhasilan membeli satu unit hunian merupakan suatu pencapaian sekaligus sebagai cara bagi pembeli dalam menaikkan status sosial. 

Meskipun demikian, alih-alih sebagai sarana untuk menaikkan status sosial, gated community justru menjadi sebuah kesempatan agar ketimpangan dapat semakin menjulang tinggi (Roitman & Reico, 2020). Kehadiran gated community seakan-akan telah membuat pembatas tak berbayang antara dunia luar. Dengan ini, segregasi sosial dalam masyarakat akan semakin teridentifikasi dengan jelas.

Menilik Imbas Kebijakan Permisif

Pengembangan lahan telah menjadi primadona di masa lampau bahkan sebelum krisis ekonomi menjerat Indonesia pada tahun 1997. Pada tahun 1993, reformasi kebijakan ekonomi telah menghasilkan kebijakan ekonomi yang lebih permisif bagi sektor swasta. Hal ini bertujuan untuk mengakselerasi investasi domestik (Winarso & Firman, 2002). Dengan demikian, para pengembang lahan atau land developer kian menjamur karena berbondong-bondong untuk mengalihfungsikan lahan biasa dan tak jarang juga lahan agrikultur menjadi lahan dengan nilai guna dan jual yang lebih tinggi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline