"I've always held that early marriage is a sure indication of second-rate goods that had to be sold in a hurry." - Martin Harris
Berkunjunglah ke Desa Pulau Raman di Kabupaten Batanghari, Provinsi Jambi. Dengan total penduduk lebih dari 1500 jiwa ini, ada sekitar 70 persen perempuan yang menikah sebelum mereka berusia 19 tahun. Hal ini tentu jauh di atas rata-rata angka pernikahan nasional di angka 10,82% (BPS, 2019)
Kita tidak bisa menutup mata. Dalam peradaban dunia yang semakin maju di tengah gempuran teknologi ini, di bagian dunia lain kasus pernikahan dini masih tidak terelakkan.
Pernikahan dini adalah fenomena yang tersebar luas di sebagian besar negara berkembang, terutama sebagian besar negara di sub-Sahara Afrika, Asia Selatan dan sebagian Asia Tenggara dan Amerika Tengah.
Dengan menggunakan definisi konvensional pernikahan dini---menikah sebelum usia 18 tahun---tingkat pernikahan dini mencapai 40-75% di sebagian besar sub-Sahara Afrika, 65% di Bangladesh, 45% di India, 40% di Nepal, Nikaragua dan Republik Dominika (UNFPA 2018).
Di Asia Tenggara sendiri, kasus pernikahan dini sedikit lebih rendah dari negara-negara di Asia Selatan. Posisi tertinggi ditempati oleh Indonesia, Thailand, Kamboja dan Filipina.
Berkaca pada Faktor Sosial Budaya yang Melatarbelakangi
Peningkatan usia menikah bagi perempuan di Indonesia memang berhubungan dengan peningkatan pencapaian pendidikan, tetapi pendidikan tersebut tidak mengikis pentingnya kontrol berbasis etnis dalam hal waktu pernikahan perempuan.
Di Indonesia, pernikahan dini masih menjadi norma khususnya di pedesaan, terutama di kalangan masyarakat Sunda dan Madura, meskipun pendidikan meningkat.
Sistem adat di Indonesia sangat beragam dalam menjabarkan kewajiban dan harapan yang berkaitan dengan hubungan sosial dan ekonomi, termasuk perkawinan. Daerah-daerah dengan karakteristik tersebut, kontrol sosial desa masih sangat kuat.
Praktik melanggengkan perkawinan perempuan pada usia muda tidak hanya terkait dengan keyakinan sosial budaya dan agama tentang peran gender, tetapi juga faktor kelembagaan (seperti peraturan tentang usia minimum untuk menikah) serta alasan ekonomi yang mendasarinya.
Tingkat kemiskinan cenderung lebih tinggi pada masyarakat yang melazimkan pernikahan anak. Mereka berharap, menikahkan anaknya dapat mengurangi beban orang tua, bahkan mengangkat kesejahteraan orang tua karena keuangan keluarga anaknya yang sukses.