"As more and more government functions get privatized, states become pay-to-play paradises, in which both political contributions and contracts for friends and relatives become a quid pro quo for getting government business... a corrupt nexus of privatization and patronage that is undermining government across much of our nation."
- Paul Krugman
Beberapa waktu lalu, lelang tender gorden DPR RI mendadak viral akibat kontroversi dalam pelaksanaannya. Selain karena anggarannya yang setinggi langit -- 48,7 milyar, terdapat kejanggalan dalam pelaksanaannya. Dari 49 peserta tender, hanya 3 perusahaan yang tersisa dan yang memenangkan tender tersebut adalah perusahaan yang menawarkan nilai lebih tinggi (Kompas, 2021).
Masyarakat Indonesia tentunya sudah tidak asing lagi dengan istilah "pelelangan" atau "tender." Bagaimana tidak, 90 persen kasus korupsi di daerah adalah terkait pengadaan barang dan jasa (KPK, 2021). Bahkan salah satu kasus korupsi terbesar di Indonesia, yang merugikan Indonesia sebesar 2,3 triliun adalah hasil tender -- kasus pengadaan E-KTP.
Pertama, kita harus mengerti bahwa melalui tender, dimana sektor swasta dilibatkan ke dalam pekerjaan pemerintah, adalah untuk menjadikan sektor publik lebih efisien. Hal ini sesuai teori ekonomi yang akan dijelaskan di dalam artikel ini. Namun, mengapa hasilnya tidak sesuai? Bagaimana hal ini bisa terjadi? Apakah hal ini hanya terjadi di Indonesia?
Tulisan ini bertujuan untuk membongkar "mitos" mengenai keefektifan kolaborasi antara pemerintah dan swasta.
KPS: Sebuah Sejarah Singkat
Kerjasama antara pemerintah dan swasta bukanlah hal yang baru. Istilah "Public-Private Partnership" atau Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS) dipopulerkan sekitar tahun 1970, disaat ide-ide Keynesian mulai digeser oleh ide Neoliberalisme dan peran pemerintah mulai dipertanyakan (saat itu kondisi ekonomi sedang buruk). Alih-alih menganggap kinerja ekonomi yang buruk sebagai kegagalan pasar, kegagalan atau inefisiensi pemerintah dijadikan kambing hitam (Gomes, 1990). Ide-ide baru, seperti New Public Management (NPM), menjadi mode baru.
Dalam konteks ini, KPS digunakan sebagai alternatif dari layanan publik yang birokratis dan perusahaan milik negara yang tidak efisien (Cavelty dan Sute, 2009). Menyerahkan tugas publik kepada aktor swasta, (memprivatisasikan, mengontrakkannya, atau melaksanakannya dalam kemitraan dengan swasta) dianggap sebagai cara utama untuk meningkatkan efisiensi administrasi dan penyediaan layanan publik.
Secara teori, outsourcing dan privatisasi akan memperbaiki masalah principal-agent dalam hubungan antara pemerintah dan warga negara, menghemat uang dan meningkatkan layanan. Praktiknya ternyata sangat berbeda (Mazzucato, 2020).
Pada masa itu teori ini sangatlah terkenal, terutama di Inggris pada masa pemerintahan konservatif pertama Perdana Menteri Margaret Thatcher pada tahun 1979 hingga 2000-an di bawah Partai New Labour. Prakteknya mengambil tiga bentuk: privatisasi, usaha publik-swasta dan outsourcing layanan publik. Antara tahun 1980 dan 1996, Inggris menyumbang 40 persen dari total nilai semua aset yang diprivatisasi di seluruh OECD.