Lihat ke Halaman Asli

Kanopi FEBUI

TERVERIFIKASI

Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi FEB UI

Joe Biden dan Tenda Besarnya: Pilihan Partai Demokrat yang Tidak Terelakkan

Diperbarui: 16 Oktober 2020   20:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri

Sejak 1992, popular vote di enam dari tujuh pemilihan presiden Amerika Serikat berhasil dimenangkan oleh Partai Demokrat. Meskipun Partai Republik gagal menarik hati mayoritas warga negara, nyatanya mereka tetap berhasil menduduki kursi kepresidenan selama tiga periode dengan mengirimkan Bush dan Trump. Anomali yang nampak mustahil nyatanya mungkin terjadi di dalam sistem pemilihan electoral college. Sistem ini adalah karya the founding fathers yang hingga kini dianut oleh Amerika Serikat.

Dalam sistem electoral college, masyarakat tidak secara langsung memilih pasangan presiden dan wakil presiden. Akan ada suatu kelompok pemilih bernama electoral college di setiap negara bagian yang  akan mewakili masyarakat di negara bagian masing-masing untuk memberi suara. Jumlah suara electoral college inilah yang diperhitungkan untuk menentukan hasil pemilihan presiden.

Jatah suara elektoral setiap negara bagian disesuaikan dengan jumlah senator dan perwakilan di negara bagian tersebut. Alhasil, bukan saja jumlah anggota electoral college tiap negara bagian yang berbeda, melainkan juga proporsi suara elektoral terhadap jumlah pemilih umum. Terdapat 188.000 suara pemilih umum per satu suara elektoral di Wyoming (rural state), sedangkan setiap satu suara elektoral di California (urban state) mewakili 677.345 suara pemilih umum. 

Sepanjang sejarah pemilihan presiden, Partai Demokrat hampir selalu dipersulit oleh sistem electoral college. Demokrat didukung oleh urban states seperti New York dan Massachusetts, sedangkan Partai Republik didukung keras oleh rural states seperti Iowa dan New Hampshire (Mckee, 2008).

Artinya, pendukung Partai Demokrat bertumpukan di negara bagian dengan rasio suara elektoral terhadap suara umum yang rendah, sehingga Demokrat membutuhkan dukungan massa yang jauh lebih banyak untuk memenangkan pemilihan dibandingkan dengan Republikan. Pendukung mereka tersebar di urban states dengan rasio suara elektoral terhadap suara umum yang tinggi. 

Pada bulan November mendatang, Amerika Serikat akan menentukan pemimpin mereka. Partai Republik sudah membulatkan pilihan kepada Trump sejak Februari 2019 ketika GOP mengumumkan bahwa mereka mendukung Trump sepenuhnya. Tetapi, pemilihan ksatria Demokrat harus melalui pertarungan yang jauh lebih panjang.

Pada Juni 2020 lalu, Biden baru memperoleh jumlah pemilih yang cukup untuk  melaju sebagai nominasi dari Demokrat. Namun di balik pertarungan Demokrat yang sengit ini, sesungguhnya game theory dan ekonomi politik sudah mampu memprediksi pilihan Dems dari awal---bahwa Biden dengan tenda politiknya yang besar pada akhirnya akan menjadi pemimpin tiket biru.

The Median Voter Theorem in Action

Kita tahu bahwa Demokrat membutuhkan jauh lebih banyak suara untuk menang. Ini menjadi semakin menantang karena di dalam partai terdapat fraksi-fraksi dengan pandangan berbeda yang membuat suara Demokrat terpecah. Berbeda dengan Republikan yang mendukung agenda yang relatif sama: kepemilikan senjata bebas, anti-aborsi, deregulasi korporasi, dan berbagai agenda konservatif lainnya, agenda yang didukung Demokrat sangatlah beragam. Mulai dari Pete Buttigieg yang mendukung asuransi kesehatan publik opsional hingga Bernie Sanders dengan Medicare-for-all.

Jelas bahwa para kandidat presiden tersebar di titik-titik berbeda dalam spektrum politik sumbu kiri (liberal) dan kanan (konservatif), atau paling tidak kiri dan tengah pada kasus Partai Demokrat. Demokrat membutuhkan tenda super besar untuk dapat menampung berbagai pandangan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline