"Memilih dia yang bergelimang harta, menyelinap cinta yang beraroma dusta"
Sepatah sajak goresan emas Suyatri Yatri ini menggambarkan hidup di tengah pandemi saat ini. Bangsa-bangsa yang terpuruk sedang menantikan bantuan dari teman-teman baik yang "bergelimang harta" katanya. Ya, teman baik itu bernama utang. Hari demi hari, negara-negara berkembang tak henti membuka gerbang mereka agar utang dapat masuk.
Maju kena, mundur kena. Politisi papan atas negeri ini selalu berbalas kata satu sama lain mempertanyakan, "Mau menyelamatkan nyawa atau ekonomi dulu?" Bagi yang mendahulukan nyawa tentu berpihak kepada uluran tangan teman kita, si utang. Sesungguhnya keputusan itu tidak semata salah.
Apalagi penanggulangan krisis kesehatan adalah paramount bagi tiap negara. Apapun biaya yang muncul harus ditanggung. Tetapi kita harus pandai menelaah, cinta apa yang sedang dipersembahkan si utang? Apakah itu cinta yang "beraroma dusta" atau murni uluran tangan semata?
Berguru Soal Utang dengan Masa Lalu
Pada masa-masa sulit, sejarah telah menunjukkan bahwa bantuan utang dapat dibenarkan. Akumulasi utang tambahan dapat membantu negara-negara berkembang untuk berinvestasi dalam proyek-proyek yang meningkatkan pertumbuhan jangka panjang, seperti infrastruktur, kesehatan, dan pendidikan untuk melindungi kelompok-kelompok rentan.
Lagi pula, akumulasi utang sementara juga dapat memainkan peran penting dalam membantu membalikkan resesi ekonomi jangka pendek. Selama resesi, pengeluaran pemerintah yang dibiayai oleh utang dapat memberikan stimulus untuk mendukung permintaan (Bank Dunia, 2015). Dengan kata lain, berutang adalah jalan yang tepat agar kebijakan fiskal ekspansif dapat dilakukan dan merangsang aktivitas ekonomi.
Biarpun begitu, kita sepatutnya belajar dari pengalaman buruk dengan utang di masa lalu. Gelombang akumulasi utang global telah terjadi tiga kali sepanjang sejarah: 1970-89, 1990-2001, dan 2002-09 (World Bank, 2020).
Semuanya telah terbukti mendorong negara-negara terutama negara berkembang atau Emerging Markets and Developing Economies (EMDEs) menuju jurang krisis finansial.
Rendahnya suku bunga dan perubahan besar pada pasar keuangan yang mendorong pinjaman besar-besaran menjadi pengantara utama gelombang itu.