Bumi gonjang-ganjing, langit kelap-kelip. Sebuah banjir besar menelan seluruh peradaban. Semua manusia menjadi korban, kecuali Nuh dan keluarganya. Bersama para hewan, mereka bertahan di sebuah bahtera besar. Nuh harus menahkodai bahtera tersebut agar selamat sampai air bah surut. Bayangkan, betapa besar ketidakpastian yang dihadapi.
Begitu pula dengan dunia kita sekarang ini. Penuh dengan ketidakpastian. Tidak hanya karena COVID-19, melainkan juga bara api populisme yang semakin membara. Arus yang menghantam sejak 2016 ini mengacak-acak konvensi politik-ekonomi yang dibangun sejak akhir Perang Dingin. Dengan kata lain, the liberal-globalist order is under siege.
Serangan tidak hanya datang dari populisme sayap kanan. Kini, populisme sayap kiri juga memantapkan serangannya terhadap target yang sama. Bahkan, pendirian kedua kubu dalam isu perdagangan internasional bak pinang dibelah dua. Mau bukti? Tengok saja Perang Bubat politik di Amerika Serikat jelang Pemilu 2020.
Donald Trump sebagai petahana dari Partai Republik berdiri di atas rekam jejaknya sebagai tariff man. Sementara Joe Biden sebagai kandidat Partai Demokrat menyatakan bahwa, "You need to organize the world to take on China." Artinya, kedua calon sudah menyuarakan proteksionisme sebagai aspirasi populis.
Bahkan, amalgamasi ini diakui oleh Bapak Populisme Global, Steve Bannon sejak tahun 2018. Mantan White House Chief Strategist ini mengatakan ada sebagian basis massa gerakan progresif kiri yang dibajak arus populisme Trump:
"There's a larger worker base of black, hispanic working class and some of Bernie's [Bernie Sanders'] people that are economic nationalists and they see the benefits."
Lantas, apa yang dimaksud dengan nasionalisme ekonomi atau populisme ekonomi yang diutarakan oleh beliau?
Riedel (2017:7) menyatakan bahwa populisme ekonomi adalah pengambilan kebijakan ekonomi yang melawan konvensi demi memenuhi hak common people. Sementara Rodrik (2018:196) mendefinisikannya sebagai penolakan terhadap keterbatasan dalam mengambil kebijakan ekonomi. Terakhir, Bourne (dalam cato.org, 2019) menggambarkannya sebagai thin ideology yang melawan kepentingan elit.
Maka, dapat dikatakan bahwa populisme ekonomi adalah ideologi ekonomi yang meniadakan limitasi dan konvensi dalam mengambil kebijakan demi melawan kaum elit serta memenuhi kepentingan common people. Dari definisi ini, tiga karakteristik utama muncul. Apa saja karakteristik tersebut?
Pertama, kebijakan ekonomi diarahkan untuk mencapai kepentingan agregat common people sebagai konstituen utama. Tujuan tersebut datang dalam berbagai bentuk. Ada yang commonsensical seperti drain the swamp atau tax the rich. Namun ada pula yang bombastis seperti build the wall dan free college for all.