Kualitas udara yang buruk, tingkat kriminalitas yang tinggi dan pendapatan per kapita yang rendah adalah mimpi buruk bagi negara-negara di dunia. Seperti yang kita tahu, polusi udara merupakan masalah genting di beberapa negara termasuk Indonesia. Kegentingan ini semakin memuncak ketika situs penyedia informasi kualitas udara dan polusi harian kota-kota besar di dunia AirVisual menobatkan Jakarta sebagai kota paling berpolusi ketiga di dunia pada Agustus silam.
AirVisual menggunakan Air Quality Index (AQI) untuk menggambarkan tingkat polusi udara di suatu daerah yang dihitung berdasarkan enam jenis polutan utama, yaitu PM 2,5, PM10, karbon monoksida, asam belerang, nitrogen oksida, dan ozon permukaan tanah. Pada 29 Agustus 2019, AQI Jakarta tergolong di kategori tidak sehat dengan angka 158, di mana konsentrasi PM2,5 mencapai 70 g/m. PM 2,5 atau Particulate Matter 2,5 sendiri merupakan partikel kecil tak kasat mata yang berukuran hanya 2,5 mikrometer, setara dengan tiga persen dari diameter rambut manusia. Saking kecilnya, masker hijau yang biasa kita gunakan sehari-hari bisa ditembus oleh partikel ini.
Kualitas udara yang buruk kini tidak hanya dirasakan oleh warga Jakarta. Daerah yang berada di luar pulau Jawa seperti Sumatera dan Kalimantan juga turut merasakan hal ini. Namun, memburuknya kualitas udara yang terjadi di ketiga daerah ini disebabkan oleh faktor yang berbeda.
Menurut Badan Meteorologi dan Geofisika, penurunan kualitas udara di Jakarta disebabkan oleh tiga faktor yaitu polusi kendaraan, pembangunan dan musim kemarau. Berbeda dengan Sumatera dan Kalimantan, kualitas udara yang buruk disebabkan oleh kebakaran hutan yang terus berulang setiap tahunnya.
Kita semua setuju bahwa kualitas udara yang buruk tidak bagus untuk kesehatan. Udara yang kotor dapat menimbulkan berbagai penyakit kronis pada manusia bahkan menyebabkan kematian. Menurut World Health Organization (WHO), polusi udara berkontribusi terhadap 4,2 juta kematian dini di dunia pada tahun 2016 dan 91% kematian dini tersebut terjadi di negara yang berpenghasilan rendah dan menengah.
Polusi Udara Sejalan dengan Tingkat Kejahatan
Suatu hari, anda berangkat ke tempat kerja dalam keadaan emosi yang stabil. Lalu anda dihadapkan dengan situasi jalanan yang panas, macet dan kepulan asap knalpot dimana-mana. Bagaimana perasaan anda ketika menghadapi situasi tersebut? Pastinya hal ini akan merusak mood anda dalam menjalankan aktivitas pada hari itu. Bisa jadi, anda yang awalnya bahagia seketika menjadi marah. Hal ini mengilustrasikan bahwa kondisi lingkungan sekitar berpengaruh terhadap kondisi psikologis seseorang.
Tahukah anda bahwa ternyata polusi udara tidak hanya menyerang manusia secara fisik tapi juga mental? Tingkat polusi udara yang tinggi mempengaruhi perilaku manusia yang semakin agresif bahkan memicu seseorang untuk bertindak kriminal.
Pada Februari 2018, Sage Journal mempublikasikan sebuah studi yang menunjukkan dampak dari peningkatan polusi udara terhadap tingkat kriminal dan perilaku tidak etis. Penelitian yang dilakukan oleh Jackson G. Lu, dkk. ini menganalisis data panel selama 9 tahun dari 9.360 kota di Amerika Serikat untuk menyelidiki dampak polusi udara terhadap tujuh kategori kejahatan yang datanya diambil dari U.S. Federal Bureau of Investigation .
Studi ini menemukan bahwa polusi udara meningkatkan tingkat kejahatan. Udara yang berpolusi meningkatkan tingkat kecemasan dan kegelisahan masyarakat. Kegelisahan dan kecemasan masyarakat ini berujung kepada peningkatan terjadinya perilaku tidak etis dan kriminal. Perilaku tidak etis akibat dari polusi tersebut bisa disertai dengan kekerasan seperti agresi (Corrigan & Watson, 2005) dan tanpa kekerasan seperti seperti pencurian uang (Kouchaki & Desai, 2015).
Penelitian lain berjudul "The effect of pollution on crime: Evidence from data on particulate matter and ozone" (2019, Pdf) yang dipublikasikan September lalu juga menyajikan informasi terkait hubungan jangka pendek antara paparan polusi udara terhadap beberapa kasus kriminal di Amerika Serikat.