Pernahkah Anda berkunjung ke Jakarta? Menjadi penduduk kota termacet ke-12 di dunia, sekaligus penyabet peringkat pertama dalam kategori yang sama di Indonesia, bukanlah suatu pencapaian yang patut dibanggakan. Setiap hari, warga Jakarta harus berjejal-jejalan dengan 47 juta jiwa di jalanan Jakarta.
Penduduk ibukota, ditambah para commuter dari berbagai daerah di sekitarnya, keluar-masuk Jakarta setiap hari untuk menuntut ilmu, bekerja, atau sekadar mencoba peruntungan di kota metropolitan ini.
Sebagai akibatnya, kemacetan datang hampir secara alamiah bersama keramaian yang identik dengan Jakarta. Hal ini menyiratkan pesan bahwa terjebak kemacetan di jalan bukan lagi sebuah alasan yang dapat diterima ketika seseorang terlambat menghadiri suatu acara, sebab warga Jakarta diharapkan telah dapat memprediksi terjadinya hal tersebut. Lantas, apakah implikasi ekonominya dan bagaimana ilmu ekonomi dapat menjelaskan serta memecahkan problema pelik ini?
Biaya Terjebak di Jalan
Selain kerugian yang dirasakan para penumpang dalam bentuk waktu yang hilang dan keterlambatan, berbagai studi telah menunjukkan bahwa para pengemudi yang terjebak kemacetan mengalami penurunan kesehatan fisik dan mental (Novaco et al., 1979). Selain itu, para pengemudi yang mengalami stres juga menjadi lebih agresif saat mengemudikan kendaraan (Gulian et al., 1989b).
Risiko mereka terlibat dalam kecelakaan di jalan meningkat pula (Selzer & Vinokur, 1974). Bahkan, stres saat mengemudi ikut memengaruhi pikiran, perasaan, dan perilaku seseorang di dalam rumah dan tempat kerja (Gulian et al., 1989a) saat ia sedang tidak berada di balik setir atau setang.
Kerugian-kerugian yang telah disebutkan sebelumnya dialami oleh individu-individu dalam skala mikro. Sementara itu, sebuah riset yang dilakukan secara kolaboratif oleh INRIX, Inc. bersama Centre for Economics and Business Research (Cebr) menunjukkan bahwa biaya yang ditimbulkan oleh adanya kemacetan di jalan dapat dikonversikan ke dalam satuan moneter, diakumulasikan secara agregat, dan menghasilkan angka yang mahal.
Pada tahun 2013 saja, total biaya kemacetan di kota-kota termacet di Prancis, Jerman, Britania Raya, Amerika Serikat diperkirakan mencapai USD 200 milyar. Nominal tersebut setara dengan kontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB) keempat negara sebesar 0.8%.
Penemuan ini juga benar adanya di Jakarta, walau dengan nilai yang kecil secara relatif, yaitu USD 4,6 milyar atau sekitar 0.4% dari PDB Indonesia. Meskipun PDB suatu negara tampak seperti didorong naik, adanya pengeluaran ini hanya mencerminkan pembengkakan harga-harga yang harus dibayar oleh masyarakat.
Pertama, duduk di atas kendaraan yang terjebak kemacetan dalam waktu yang lama menurunkan produktivitas pekerja. Waktu yang seharusnya dapat digunakan oleh para pekerja untuk menyelesaikan pekerjaan terbuang sia-sia karena harus mereka mengalokasikan konsentrasi untuk berjuang membebaskan diri dan kendaraan yang mereka tumpangi dari kondisi stagnan di jalan.