Lihat ke Halaman Asli

Kanopi FEBUI

TERVERIFIKASI

Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi FEB UI

Memahami Gagalnya Partai Baru Masuk Parlemen dari Perspektif Ekonomi

Diperbarui: 28 April 2019   01:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi iklan Partai di televisi. (Gambar: Kanopi FEBUI)

Pemilihan legislatif (Pileg) tahun ini membawa warna-warna baru yang tercermin dengan adanya 4 partai politik (parpol) baru yang ikut kontestasi untuk bisa menembus Senayan. Kehadiran mereka dapat menyemaikan bibit-bibit harapan baru bagi mereka yang selama ini tidak puas dengan kinerja parpol yang sudah lama duduk di parlemen. 

Beberapa gagasan yang diusung para partai baru sebenarnya memungkinkan adanya perubahan dalam parlemen ke arah yang lebih baik, seperti wacana Partai Solidaritas Indonesia untuk meluncurkan aplikasi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di mana masyarakat bisa memberikan penilaian pada anggota DPR  berdasarkan presensi serta keaktifan dalam rapat-rapat yang direkam secara live.

Pileg 2019 yang dilaksanakan di Indonesia menggunakan sistem proposional dengan daftar terbuka. Di gedung DPR ada 550 kursi yang diperebutkan oleh 16 Parpol. Setiap orang memilih satu caleg atau satu parpol ketika nyoblos. 

Setelah pemilihan, suara akan dihitung dan diakumulasi jumlahnya dan selanjutnya akan dibagi menggunakan bilangan pembagi pemilih yang telah disesuaikan dengan jumlah penduduk tiap provinsi.

Sayangnya, pada Pileg tahun ini, keempat partai baru tersebut tidak berhasil menembus ambang batas parlemen sebesar 4% ini. 

Disadur dari Indo Barometer, urutan parpol dengan perolehan suara tertinggi adalah Partai Perindo dengan perolehan sebesar 2,65%, disusul oleh Partai Solidaritas Indonesia dengan perolehan sebesar 2,13%, Partai Berkarya dengan perolehan sebesar 2,12%, dan yang terakhir adalah Partai Garuda dengan perolehan sebesar 0,59%. Sedikitnya partai baru yang sukses tersebut bukan fenomena yang unik terjadi pada pileg ini saja. 

Apabila kita melihat ke belakang, pada tahun 2004, hanya 5 dari 45 parpol baru yang memperoleh suara diatas 6%; 8 di antaranya bahkan tidak lolos ke parlemen nasional yang saat itu belum memiliki peraturan ambang batas. 

Pada tahun 2009 dari 18 parpol baru, hanya Hanura dan Gerindra yang mampu lolos ambang batas parlemen sebesar 3.5% pada saat itu. Sebagian besar parpol tersebut akhirnya menghilang begitu saja. 'Untungnya', pada pileg 2014, satu-satunya parpol baru yaitu Nasional Demokrat (Nasdem) berhasil lolos ke parlemen.

Fakta ini cukup menyedihkan. Track record kegagalan parpol baru tersebut mungkin bisa memberikan efek deteren bagi masyarakat yang tergerak untuk membentuk partai baru. Banyak sekali hal yang mungkin menjadi penyebab dari terjadinya hal ini.  

Ilmu Ekonomi sendiri ternyata memiliki suatu sudut pandang tertentu yang dapat menjelaskan salah satu penyebab parpol-parpol ini kalah: strategic voting.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline